Oleh PROF. H. ABU DAUD BUSROH, SH.
Guru Besar STIHPADA Palembang
PENGANTAR
Lebih kurang 350 tahun bangsa Indonesia terbelenggu oleh kebodohan dan kemiskinan yang dilakukan oleh kolonial Belanda yang juga dilanjutkan oleh kolonial Jepang. Tadinya ada harapan setelah pondasi dasar dideklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan ceremony Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945 yaitu tercapainya kecerdasan dan kesejahteraan bangsa diiming-imingi oleh negarawan dan politikus akan diraih oleh bangsa Republik Indonesia. Akan tetapi apanyana harapan itu tidak pernah tercapai oleh karena semua anak bangsa yang berpredikat negarawan apalagi politikus melakukan kebohongan publik yang amat besar terhadap rakyat Republik Indonesia. Buktinya muncul slogan area orde lama, yang berujung kepada kecentang perenangan realisasi pembukaan UUD 1945 dan sangat amat dikenal pemimpin pada saat itu menghabiskan dana demi dalih dana revolusi.
Muncul area orde baru satu periode masa jabatan coba-coba yaitu PJS (1966-1973), 2 periode masa kepemimpinan orde baru (1973-1978 dan 1978-1983) program pemerintahan pusat difokuskan kepada bidang ekonomi. Program itu berhasil ada petunjuk yang masih remang-remang rakyat menjadi cerdas dan sejahtera.
Sayangnya periode selanjutnya rezim pemerintahan (1983-1988, 1988-1993, 1993-1998) terbukti bahwa slogan membangun Negara terbelokkan menjadi Negara masuk bagian terbesar sebagai pemimpin Negara yang dihinggapi penyakit anak-anak bangsa yaitu koruptor. Lalu muncul secara pura-pura baik tapi berujung kepada pelaku negarawan dan politikus serta penegak keadilan, hampir seluruh pengemban amanah tugas Negara baik pusat maupun daerah berlomba-lomba melakukan korupsi. Itulah area reformasi yang ada tanda-tanda akan berujung kepada kemelaratan bangsa dan keadaan ini telah ada muncul cirinya pada tahun 2008 diawal bulan Oktober ini barang tidak mungkin akan terjadi krisis yang terbesar bagi bangsa Indonesia karena hidup negaranya menjadi boneka daripada bangsa asing.
Faktor yang menambah keterpurukan anak bangsa Indonesia adalah penyakit masyarakat yaitu koruptor yang kata daripada salah satu proklamator adalah budaya itu muncul dalam kenyataan. Semangat untuk menumpas koruptor tidak akan berhasil karena badan apapun yang dibentuk sebagai kelengkapan daripada badan yang ada seperti KPK, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, DPD, Penyelenggaraan Proses Peradilan dikawal satu atap oleh Mahkamah Agung, dan juga satu badan yang sangat ideal sebagai filter pemberantasan korupsi yaitu BPK dan KPK sebagai ujung tombak tidak berjalan sebagaimana isi Hukum Pidana Formil dan Pidana Materiil yang berlaku. Oleh sebab itu ujung daripada pemberantasan korupsi tetap akan berbuah koruptor juga sehingga bagaikan slogan siapa yang menumpas koruptor dan siapa yang ditumpas tidak ada hasil yang akan berujung tumpasnya sang koruptor.
Antara lain penyebabnya adalah :
PIHAK PENEGAK HUKUM MELAKUKAN KESALAHAN FATAL DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
Sudah sangat amat lazim khususnya sejak proses peradilan perkara Marsinah pihak kepolisian, Kejaksaan ditambah dengan KPK salah dalam menentukan pelaku kejahatan dan saksi yaitu entah dengan sengaja atau kekurangan kecerdasan dalam menyidik sehingga muncul niat mereka mencari kesempatan memberlakukan slogan tebang salah pilih yaitu seharusnya beberapa pelaku kejahatan yang seharusnya sebagai Tersangka / Terdakwa akan tetapi dipilah-pilah (Splitsing) sehingga ada kesempatan untuk melakukan tebang salah pilih dan mendapatkan keuntungan pribadi dari proses itu sehingga berujung sesama Tersangka maupun Terdakwa yang seharusnya lalu berubah ada yang sangat berat hukumannya, ada yang sedang-sedang saja bahkan ada yang bebas. Keadaan ini menjadi suatu lahan pesta pora dalam menumpuk kekayaan oleh lembaga tertinggi peradilan yaitu Mahkamah Agung, banyak Tersangka / Terdakwa melakukan kejahatan mendapat hukuman yang tidak seyogyanya. Semoga lembaga legislative tidak menjadikan masa pensiun anggota, Mahkamah Agung menjadi 70 tahun.
Kesalahan penyidikan terhadap pelaku kejahatan dengan memilah / memisah atau disebut Splitsing adalah bertentangan dengan hukum vide Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1957 Nomor : 5K/Kr/1957 yang menyatakan teori mengenai Onsplitsbare aveu hanya berlaku dalam perkara perdata dan tidak dalam perkara pidana.
Doctrin sebagai sumber hukum formal dalam kamus hukum menyatakan Splitsing pemisahan dari suatu pengakuan, keterangan pemisahanya dilakukan sedemikian rupa, sehingga satu bagian daripadanya yang digunakan untuk pembuktian dan membiarkan sisanya diluar perhitungan. Pada umumnya berlaku larangan untuk mengadakan pemisahan suatu pengakuan yang merugikan orang yang mengucapkannya kecuali dalam hukum perdata dan sangat lugas dan jelas diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pda Pasal 168 dinyatakan “Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a, b, c, … yang bersama-sama sebagai Terdakwa”.
Seandainya penegak hukum dengan murni berniat untuk menumpas koruptor agar tidak menjadi tebang salah pilih maka sebagai Tersangka / Terdakwa dipisah-pisah sekali menjadi Terdakwa berikutnya jadi Saksi selanjutnya sebaliknya karena penyidikan itu bertentangan dengan hukum yaitu Undang-Undang, Yurisprudensi dan Doctrin sebagai sumber hukum formal. Maka cara penyidikan seperti itu jangan dilakukan lagi, agar koruptor dapat diluluh lantakan.
Sabtu, 11 Oktober 2008
Langganan:
Komentar (Atom)