
A.Pendahuluan
Fenomena pernikahan siri belakangan ini cukup banyak melanda diberbagai kalangan baik dari kalangan masyarakat, pekerja profesional, artis/ selebritis, sampai dengan pejabat. Wabah pernikahan siri seakan sulit terbendung sehingga pemerintah berencana akan mengeluarkan peraturan yang akan melarang pernikahan siri dengan ancaman pidana. Bagi sebagian kalangan sarjana hukum berpendapat apabila pernikahan siri dilangsungkan maka pihak wanita tidak mendapatkan hubungan pewarisan, sedangkan bagi sebagian lagi ada yang berpendapat pihak wanita tetap akan mendapatkan hubungan pewarisan. Cukup banyak pro dan kontra mengenai permasalahan pernikahan siri. Memang kalau kita pandang untung ruginya, pihak wanita jelas dirugikan bila dinikahi secara siri. Untuk itu sangat menarik untuk dikaji baik secara hukum Islam maupun hukum perkawinan nasional. Adapun pengaturan mengenai perkawinan diatur didalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Didalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, dan dilanjutkan Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari bunyi pasal 2 ayat (1) diatas, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Didalam agama Islam, rukun perkawinan/ pernikahan adalah : 1) ada calon mempelai pria dan calon mempelai wanita, 2) Wali dari calon mempelai wanita , 3) ada dua orang saksi (laki-laki) , 4) Ijab yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya dan Qabul yaitu ucapan penerimaan dari calon mempelai pria . Rukun Perkawinan tersebut semuanya harus ada pada saat melangsungkan perkawinan, apabila salah satu tidak ada maka perkawinan tersebut batal menurut Agama Islam.
B.Pernikahan Siri
Pernikahan siri bisa diartikan suatu pernikahan yang dilakukan secara tidak terang-terangan. Adapun alasan orang-orang melangsungkan pernikahan siri ada beberapa alasan antara lain ingin menikah kedua kali tapi terbentur syarat administrasi (contohnya calon mempelai laki-lakinya berstatus PNS ingin menikah lagi akan tetapi tidak mendapat izin dari istri pertama), tidak mendapat restu dari orang tua, ingin cara kilat/ cepat , calon mempelai wanita terlanjur hamil, atau yang paling ekstrem yaitu ingin memuaskan nafsu syahwat tapi dengan cara yang dianggap halal dan aman. Alasan-alasan ini kalau dicermati sudah melenceng dari tujuan perkawinan itu sendiri.
Semestinya perkawinan menjadi suatu wadah pemersatu bagi seorang laki-laki dan seorang wanita serta pemersatu dua buah keluarga. Kemuliaan perkawinan amatlah tinggi yaitu selain sebagai pemersatu, menghasilkan keturunan penerus, dan juga karena mampu mengubah sebuah perbuatan yang haram dilakukan pasangan berlainan jenis menjadi perbuatan yang halal untuk dilakukan. Tapi hakikat ini seringkali tidak disadari.
Pernikahan siri yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada dua jenis pernikahan siri yaitu pernikahan siri yang dilakukan tanpa wali dan pernikahan siri yang dilakukan dengan wali tapi tidak tercatat di lembaga pencatatan sipil.
Pertama, pernikahan siri tanpa wali jelas menurut agama Islam hukumnya batal. Adapun hadits Rasulullah SAW seperti yang dituturkan sahabat Abu Musa ra, yang berbunyi “Tidak sah suatu pernikahan tanpa wali” (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Saukani, Nailul Authar VI :230 hadits ke 2648) dan hadits HR “Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil”. (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Saukani, Nailul Authar VI :230 hadits ke 2649). Dari dua hadits diatas , jelas pernikahan tanpa wali menurut agama Islam adalah pernikahan batil. Pernikahan siri yang demikian dapat dianggap sebagai perbuatan maksiat dihadapan Allah , apalagi misalnya calon mempelai wanita sampai tega berbohong kepada calon mempelai pria dengan mengatakan wali nasab-nya telah tiada sehingga menunjuk wali hakim atau calon mempelai pria dan wanita menggelapkan asal usulnya. Perbuatan tersebut dapat dijerat pidana yaitu Bab XIII KUH Pidana yang mengatur kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan (pasal 270 sampai dengan pasal 280). Dengan demikian pasangan tersebut selain berdosa besar juga dapat dijerat sanksi pidana.
Kedua, pernikahan siri yang ada wali tapi tidak tercatat di lembaga pencatatan sipil. Adapun alasan pernikahan siri tersebut biasanya karena faktor biaya (tidak ada uang untuk melangsungkan pernikahan), hidup jauh dan terisolir, dan ada perasaan pernikahan tersebut harus dirahasiakan takut berpengaruh terhadap kehidupan dan pekerjaan (contohnya artis yang takut pamornya turun dan khawatir tidak laku lagi setelah menikah). Pernikahan siri seperti ini bila dilihat dari aspek hukum Islam pernikahannya sah, karena telah dilakukan menurut syariat Agama. Dengan demikian hubungan pewarisan tetap ada, karena secara agama dan hukum pernikahan Indonesia pernikahan tersebut adalah sah (lihat pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 diatas), hanya saja memiliki kelemahan yaitu pernikahan tersebut tidak tercatat dilembaga pencatatan sipil.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 , pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Bila ditafsirkan ayat tersebut pengertian dicatat mengandung fungsi administrasi. Dengan demikian bila tidak tercatat maka tidak dapat dianggap sebagai suatu perbuatan pidana. Jangan sampai kita terjebak paradigma yang pada akhirnya kita mencampur adukkan antara hukum pidana dengan hukum administrasi, karena ini jelas dua hukum yang berbeda. Fungsi pernikahan dicatat adalah sebagai alat bukti , bahwa sepasang manusia telah melangsungkan pernikahan. Selain itu dengan adanya surat nikah akan makin menguatkan dan memperjelas posisi suami dan istri dimata hukum bila kelak terjadi sengketa.
Dari uraian diatas, pemerintah seharusnya sangat berhati-hati dalam memilah-milah dan menetapkan pernikahan siri mana yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana, jangan sampai terjadi salah penafsiran pada level bawah. Jangan sampai pemerintah terjebak didalam situasi dimana negara terlalu turut campur dalam urusan pribadi seseorang yang ujung-ujungnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Karena bangsa kita masih memegang teguh agama dan adat ke-Timur-an, dimana ada “ruang-ruang” yang tidak dapat dimasuki oleh hukum nasional. Jangan sampai tujuan yang mulia untuk melindungi kaum wanita menjadi melanggar norma agama Islam. Untuk itu pemerintah seharusnya melakukan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan peraturan tersebut, jangan terburu-buru. Pemerintah harus melibatkan semua unsur masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain itu harus juga dilihat apakah peraturan tersebut sangat mendesak (urgent) untuk dibentuk. Juga harus direnungkan asas kemanfaatannya yang berlaku untuk seluruh rakyat atau kaum minoritas saja. Patut untuk dipertimbangkan daya jangkau dan jangka waktu keberlakuannya, karena proses pembuatan suatu peraturan memakan biaya yang cukup tinggi (high cost) sehingga jangan sampai peraturan yang sudah disahkan dan diundangkan akan langsung ditolak masyarakat dan diuji materiil di Mahkamah Konstitusi. Jelas pembuatan peraturan tersebut menjadi sia-sia dan hanya membuang biaya , waktu dan pikiran saja.
Sebenarnya hal yang paling baik adalah memberitahukan kepada kaum wanita mengenai untung ruginya bila dinikahi secara siri oleh laki-laki (kalau menurut penulis , lebih banyak ruginya). Paradigma ini seharusnya ditanamkan oleh keluarga masing-masing. Pernikahan siri apapun bentuk dan janjinya, tetap akan merugikan pihak wanita dan keturunannya. Lagipula pernikahan adalah perbuatan mulia, yang patut diumumkan sehingga dapat menjauhkan diri kita dari fitnah dalam masyarakat.
Kita tetap harus berpegangan kepada syariat yang telah diajarkan dalam Agama Islam. Agama Islam dan agama lainnya mengajarkan perbuatan yang terlarang adalah perbuatan zinah. Jangan sampai dengan adanya pemidanaan terhadap nikah siri malah makin meningkat terjadinya perbuatan zinah, efek collateral damage inilah yang harus dihindari. Norma-norma tersebut semestinya dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan karena dipaksakan oleh hukum.
Pemerintah harus menimbang-nimbang kembali untung ruginya bila nikah siri dipidanakan, kalau lebih banyak ruginya , buat apa aturan tersebut dibuat. Jangan sampai aturan tersebut dibuat hanya karena menuruti emosional sesaat, tanpa memikirkan dampak lainnya. Lagi pula masih banyak hal-hal lain yang perlu segera mendapat atensi pemerintah dan jauh lebih penting untuk dituntaskan seperti kasus Bank Century,maraknya mafia hukum, kasus Lumpur Lapindo, kematian aktivis HAM (alm) Munir dan kasus-kasus yang lainnya yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. Jangan sampai masyarakat berpikiran isu nikah siri dipidanakan hanya menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik. Hendaklah saat ini pemerintah lebih memfokuskan diri dalam bekerja dan menjalankan amanah rakyat yang diembannya serta lebih bekerja keras untuk menuntaskan persoalan-persoalan pelik yang ada didalam negeri yang kita cintai.