Sabtu, 11 Oktober 2008

ADA KESALAHAN YURIDIS PENERAPAN TATA CARA PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

Oleh PROF. H. ABU DAUD BUSROH, SH.
Guru Besar STIHPADA Palembang

PENGANTAR
Lebih kurang 350 tahun bangsa Indonesia terbelenggu oleh kebodohan dan kemiskinan yang dilakukan oleh kolonial Belanda yang juga dilanjutkan oleh kolonial Jepang. Tadinya ada harapan setelah pondasi dasar dideklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan ceremony Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945 yaitu tercapainya kecerdasan dan kesejahteraan bangsa diiming-imingi oleh negarawan dan politikus akan diraih oleh bangsa Republik Indonesia. Akan tetapi apanyana harapan itu tidak pernah tercapai oleh karena semua anak bangsa yang berpredikat negarawan apalagi politikus melakukan kebohongan publik yang amat besar terhadap rakyat Republik Indonesia. Buktinya muncul slogan area orde lama, yang berujung kepada kecentang perenangan realisasi pembukaan UUD 1945 dan sangat amat dikenal pemimpin pada saat itu menghabiskan dana demi dalih dana revolusi.
Muncul area orde baru satu periode masa jabatan coba-coba yaitu PJS (1966-1973), 2 periode masa kepemimpinan orde baru (1973-1978 dan 1978-1983) program pemerintahan pusat difokuskan kepada bidang ekonomi. Program itu berhasil ada petunjuk yang masih remang-remang rakyat menjadi cerdas dan sejahtera.
Sayangnya periode selanjutnya rezim pemerintahan (1983-1988, 1988-1993, 1993-1998) terbukti bahwa slogan membangun Negara terbelokkan menjadi Negara masuk bagian terbesar sebagai pemimpin Negara yang dihinggapi penyakit anak-anak bangsa yaitu koruptor. Lalu muncul secara pura-pura baik tapi berujung kepada pelaku negarawan dan politikus serta penegak keadilan, hampir seluruh pengemban amanah tugas Negara baik pusat maupun daerah berlomba-lomba melakukan korupsi. Itulah area reformasi yang ada tanda-tanda akan berujung kepada kemelaratan bangsa dan keadaan ini telah ada muncul cirinya pada tahun 2008 diawal bulan Oktober ini barang tidak mungkin akan terjadi krisis yang terbesar bagi bangsa Indonesia karena hidup negaranya menjadi boneka daripada bangsa asing.
Faktor yang menambah keterpurukan anak bangsa Indonesia adalah penyakit masyarakat yaitu koruptor yang kata daripada salah satu proklamator adalah budaya itu muncul dalam kenyataan. Semangat untuk menumpas koruptor tidak akan berhasil karena badan apapun yang dibentuk sebagai kelengkapan daripada badan yang ada seperti KPK, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, DPD, Penyelenggaraan Proses Peradilan dikawal satu atap oleh Mahkamah Agung, dan juga satu badan yang sangat ideal sebagai filter pemberantasan korupsi yaitu BPK dan KPK sebagai ujung tombak tidak berjalan sebagaimana isi Hukum Pidana Formil dan Pidana Materiil yang berlaku. Oleh sebab itu ujung daripada pemberantasan korupsi tetap akan berbuah koruptor juga sehingga bagaikan slogan siapa yang menumpas koruptor dan siapa yang ditumpas tidak ada hasil yang akan berujung tumpasnya sang koruptor.
Antara lain penyebabnya adalah :

PIHAK PENEGAK HUKUM MELAKUKAN KESALAHAN FATAL DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN


Sudah sangat amat lazim khususnya sejak proses peradilan perkara Marsinah pihak kepolisian, Kejaksaan ditambah dengan KPK salah dalam menentukan pelaku kejahatan dan saksi yaitu entah dengan sengaja atau kekurangan kecerdasan dalam menyidik sehingga muncul niat mereka mencari kesempatan memberlakukan slogan tebang salah pilih yaitu seharusnya beberapa pelaku kejahatan yang seharusnya sebagai Tersangka / Terdakwa akan tetapi dipilah-pilah (Splitsing) sehingga ada kesempatan untuk melakukan tebang salah pilih dan mendapatkan keuntungan pribadi dari proses itu sehingga berujung sesama Tersangka maupun Terdakwa yang seharusnya lalu berubah ada yang sangat berat hukumannya, ada yang sedang-sedang saja bahkan ada yang bebas. Keadaan ini menjadi suatu lahan pesta pora dalam menumpuk kekayaan oleh lembaga tertinggi peradilan yaitu Mahkamah Agung, banyak Tersangka / Terdakwa melakukan kejahatan mendapat hukuman yang tidak seyogyanya. Semoga lembaga legislative tidak menjadikan masa pensiun anggota, Mahkamah Agung menjadi 70 tahun.
Kesalahan penyidikan terhadap pelaku kejahatan dengan memilah / memisah atau disebut Splitsing adalah bertentangan dengan hukum vide Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1957 Nomor : 5K/Kr/1957 yang menyatakan teori mengenai Onsplitsbare aveu hanya berlaku dalam perkara perdata dan tidak dalam perkara pidana.
Doctrin sebagai sumber hukum formal dalam kamus hukum menyatakan Splitsing pemisahan dari suatu pengakuan, keterangan pemisahanya dilakukan sedemikian rupa, sehingga satu bagian daripadanya yang digunakan untuk pembuktian dan membiarkan sisanya diluar perhitungan. Pada umumnya berlaku larangan untuk mengadakan pemisahan suatu pengakuan yang merugikan orang yang mengucapkannya kecuali dalam hukum perdata dan sangat lugas dan jelas diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pda Pasal 168 dinyatakan “Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a, b, c, … yang bersama-sama sebagai Terdakwa”.
Seandainya penegak hukum dengan murni berniat untuk menumpas koruptor agar tidak menjadi tebang salah pilih maka sebagai Tersangka / Terdakwa dipisah-pisah sekali menjadi Terdakwa berikutnya jadi Saksi selanjutnya sebaliknya karena penyidikan itu bertentangan dengan hukum yaitu Undang-Undang, Yurisprudensi dan Doctrin sebagai sumber hukum formal. Maka cara penyidikan seperti itu jangan dilakukan lagi, agar koruptor dapat diluluh lantakan.

Jumat, 05 September 2008

Tanggapan terhadap Kritikan Advokat Prof.H.Abu Daud Busroh

Nomor : W6-U/1170/HK-3/IX/2008
perihal :
Mohon ditertibkan jadwal persidangan
disetiap Pengadilan Negeri Perkara Perdata
Pidana, Persidangan Penetapan.

Sehubungan surat Sdr.Prof.H.Abu Daud Busroh,SH Advokat pada Kantor Hukum Polis Abdi Hukum yang berkantor di Jalan Kampus Blok.H.11 A Palembang , tanggal 26 Agustus 2008, Nomor : 1070 Polis.8.2008 perihal tersebut diatas pada pokok surat , bersama ini kami minta agar para Ketua Pengadilan Negeri se-Sumatera Selatan berikut jajarannya untuk melaksanakan persidangan secara tertib, tepat waktu, serta sesuai tata cara ketentuan sebagaimana yang diperintahkan oleh pimpinan Mahkamah Agung serta Ketua Pengadilan pada setiap kesempatan kunjungan kerja dalam rangka pengawasan/ pembinaan ke Pengadilan Negeri- Pengadilan Negeri se-Sumatera Selatan maupun pertemuan khusus lainnya untuk mempedomani Buku II serta peraturan-peraturan maupun petunjuk-petunjuk Surat Edaran Mahkamah agung RI dalam rangka peningkatan kinerja serta mewujudkan citra dan wibawa peradilan, khususnya di wilayah hukum Sumatera Selatan.

Demikian untuk menjadi perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.


Ketua Pengadilan Tinggi Palembang
ttd
RUSMAN DANY ACHMAD,SH

Selasa, 26 Agustus 2008

Kritik terhadap sikap Aparatur Penegak Hukum

Oleh PROF.H.ABU DAUD BUSROH,SH (AKADEMISI DAN ADVOKAT)

Sebagai insan sesama Aparat Penegak Hukum merasa terpanggil untuk memberikan masukan kepada bapak yang berfungsi sebagai pengawasan oprasionalnya Pengadilan-pengadilan Negeri, khususnya yang ada di Sumatera Selatan sebagai jangkauan kewenangan bapak dan oleh karena surat tersebut ditembuskan kepada Mahkamah Agung RI seyogyanya ada kepedulian baik Aparat Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah agung mengawasi perilaku yang semena-mena dari pada Yudex Factie di setiap Pengadilan Negeri dalam melayani pencari keadilan.

Perbuatan semena-mena dari pada Majelis Hakim itu adalah dalam hal :
1.Tidak pernah menepati jadwal persidangan yang sebetulnya terhadap perkara perdata masing-masing Ketua Pengadilan dapat memberikan pendisiplinan anggotanya untuk bersidang tepat pada surat panggilan ataupun waktu yang ditentukan di dalam persidangan. Bila pada waktu yang telah ditentukan pihak-pihak telah melaporkan kedatangannya kepada Panitera Pengganti mohon segera dilaksanakan persidangan. Jangan lagi ada yang masih minum kopi, ada yang masih baca Koran, ada yang masih melayani pihak yang ada dengan kaitan perkara, atau hanya bertopang dagu, sehingga ketika mau sidang berlomba-lomba mencari Panitera Pengganti, mencari Hakim Ketua atau anggota dan menunggu macam-macam alasan sehingga persidangan perdata yang ditentukan pada Pukul 09.00 Wib dilakukan persidangannya seenaknya Majelis Hakim menentukan;

2.Seyogyanya telah tiba saatnya pengadilan Tinggi Sumatera Selatan menerapkan disiplin professional, misalnya bila ditunda persidangan untuk membaca Putusan Sela atau untuk membaca putusan pokok perkara, mana sidang yang tidak tepat waktu Pukul 09.00 Wib ditambah lagi alasan putusan belum siap. Umur Republik Indonesia bukan lagi setahun jagung, Sarjana Hukum professional banyak hanya tidak ada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan akibat pengaruh budaya kepemimpinan secara system, kolusi dan nepotisme;

3.Dalam perkara pidana jika Terdakwanya tidak berada di dalam tahanan bukankah dapat didisiplinkan persidangan tepat waktu sesuai palu yang diketukan di ruang sidang untuk perkara yang dilanjutkan hari persidangannya dan untuk menepati waktu sesuai dengan surat panggilan;Buatlah situasi dan kondisi ruang sidangan itu berwibawa dengan suatu contoh Panitera Pengganti harus memberikan isyarat kepada Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, pengunjung sidang, Terdakwa diberi aba-aba oleh Panitera Pengganti memberi hormat kepada Majelis Hakim yang memasuki ruang sidang dengan cara berdiri secara sempurna. Dan tertibkan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi-saksi, cara lapaz mengucap sumpah oleh Panitera Pengganti, isi sumpah sehingga tidak terkesan sumpah-sumpahan saja, tehnik Hakim membuat pertanyaan dengan cara tidak membentak-bentak, marah-marah, menjerat, membuat pertanyaan yang sama dengan Jaksa Penuntut Umum, pertanyaan sama antara Ketua dengan anggota atau sebaliknya, dan tidak hanya berkutat pertanyaan apakah isi Berita Acara Pemeriksaan benar ( karena pertanyaan ini tidak ada panduannya dalam KUHAP );

4.Rawatlah ruang persidangan sehingga memberikan kesan wibawa penganyoman yaitu berupa ruangan sidang bersih, kursi tidak centang perenang, tersedia kipas angin supaya tidak gerah, ya sebagaimanalah prosesi seseorang yang berwibawa akan memberikan rasa keadilan kepada pencari keadilan;

5.Tertbkan Jaksa Penuntut Umum dalam menghadirkan Terdakwa-terdakwa yang berada dalam tahanan dan buatlah situasi lokasi penahanan di pengadilan jangan ada hiruk pikuk keluarga Terdakwa yang ditahan tawar menawar dengan pihak pengantar tahanan dan apalagi dengan Jaksa Penuntut Umum yang hanya secara sembunyi-sembunyi meminta uang receh. Terkesan ruang tahanan Terdakwa yang ditahan di pengadilan bagaikan pasar pagi dadakan. Negara RI ini terhormat dan wibawa yaitu Negara Demokrasi yang berdasarkan atas Negara Hukum, bukan Negara cengar-cengir, centang perenang, atau Negara pemeras pencari keadilan;

6.Sudah banyak lembaga yang dibentuk baik lembaga sebagai permanen dibentuk oleh Negara, maupun lembaga dadakan yang dibentuk untuk memfungsikan dengan sempurna lembaga yang permanen agar disiplin dan berwibawa menjalankan tugas. Mengapa Negara RI mau merdeka kalau rakyat khususnya pencari keadilan diurus dengan sekendak hati fungsionaris, mau kemana Negara RI merdeka mau dibawa penguasanya.

Demikianlah , kritikan ini bertujuan untuk membangun citra aparatur penegak hukum agar lebih menghargai insan pencari keadilan. Tiada maksud Penulis untuk menjatuhkan , Penulis semata-mata turut terpanggil untuk membenahi citra penegak hukum yang kian hari makin turun merosot tajam di mata masyarakat.

Kamis, 24 Juli 2008

AKANKAH REFORMASI MEMBUMI KE KESEJAHTERAAN RAKYAT


Penulis :
PROF.H.ABU DAUD BUSROH,SH

Today’s Dialogue pada Program METRO TV yang diadakan tanggal 1 dan 2 Januari 2008 dengan judul “Meretas Jalan Reformasi”, tokoh yang berbicara ada yang cenderung Tokoh Politik ada yang cenderung Tokoh Negarawan. Menurut hemat Penulis sebagai pengamat kehidupan bernegara dengan getolnya menerapkan Asas Demokrasi, dan Tokoh-tokoh yang hadir berbaur antara Tokoh Politik, Cendekiawan, Intelektual, akan tetapi tidak tergambarkan dari tokoh yang ikut hadir itu adalah Tokoh Negarawan Sejati. Akan tetapi para Narasumber ada yang cenderung sebagai tokoh kenegarawanannya.
Penulis memberikan satu predikat ada tokoh cenderung menunjukkan Tokoh Kenegarawanannya, yaitu Penulis SITIR dari ungkapannya yang tercetus yaitu tidak mengambil jalan pintas yang otoriter ketika Negara Republik Indonesia dalam keadaan “CHAOS”, maksudnya bahwa si tokoh itu tidak melakukan COUPD ’ ETAT pada saat yang situasi memungkinkan itu melainkan memberikan jalan yang lurus rezim yang berkuasa saat itu dipindahtangankan kepada wakil rezimnya. Akan tetapi ketika tokoh itu mengulangi jalan cerita sejarahnya yang mengatakan ia mengambil dengan seketika pengeras suara dan mengumumkan bahwa keamanan mantan Presiden Republik Indonesia yang menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden, adalah dijaminnya kalimat itu cenderung kurang etis diungkapkan secara fulgar karena perihal keamanan khususnya Aparat Keamanan, telah menjadi tugasnya. Namun ada positifnya kalimat itu setelah diuraikan olehnya bahwa nampak tanda-tanda akan adanya suatu gejolak kerusuhan, yang bersyukurlah kita kerusuhan itu tidak terjadi sama sekali.
Dalam sikap pandang Penulis bila seorang tokoh itu didampingi oleh Penasihat yang berkarakter kenegaraan yang mengutamakan Sistem Demokrasi dengan mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan dalam tujuan berada dalam bingkai melindungi Hak Asasi Manusia maka karakteristik yang ditunjukkan olehnya itu dapat menjelma menjadi pemikiran seorang Negarawan.

Tokoh yang tampil beda diantara narasumber yang ada, letak bedanya adalah pada nuansa nada suara bicaranya berisikan aroma wibawa dan ketegasan. Aroma itulah fakta nyata yang dirasakan saat ini, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 nampak kurang signifikan kalau tujuan mengamandemen hanya semata-mata kepada redaksional bukan ditentukan oleh Visi dan Misi untuk merealisasikan kemerdekaan yang fokus kepada kesejahteraan dan kecerdasan bangsa.

Maksud contoh disini, sedemikian terasa kekurangan kelengkapan Lembaga Tinggi Negara ketika Lembaga Tinggi Negara yang bernama Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan dari eksistensinya untuk kelengkapan rezim Pemerintahan suatu Negara.

SISTEM DEMOKRASI
Bila kita kembali membuka kepustakaan agar tepat didalam penerapannya apa yang dimaksud dengan bentuk Negara dan bentuk Pemerintahan maka didapat uraian sebagai berikut :

Bentuk Negara itu menurut takaran teoritis muatannya adalah membahas sistem penjelmaan politis daripada unsur-unsur Negara, sedangkan bentuk Pemerintahan bermaksud meninjau bentuk Negara secara yuridis yang mengungkapkan system yang menentukan hubungan antara alat-alat perlengkapan tinggi Negara dalam menentukan kebijaksanaan kenegaraan.

Adalah Niccolo Machavelli yang menjelaskan tentang bentuk Negara bila tidak Republik maka itu adalah Monarchi. Pengetahuan yang sangat sederhana untuk membedakan pengertian inti dari Republik dan Monarchi yaitu diukur dari bagaimana menentukan keinginan Negara yang harus dicapai guna kepentingan bangsanya. Bila keinginan Negara itu ditentukan oleh satu orang saja itulah yang disebut dengan Monarchi baik dalam pengertian murni atau tidak murni (Monarchi tidak murni cenderung di zaman modern). Bila keinginan Negara itu ditentukan oleh orang banyak berupa Dewan maka itu adalah Republik.

Dalam penerapannya secara modern dapat terjadi pergeseran yaitu secara tersurat dianut bentuk Monarchi tapi dalam penerapannya terjadi bentuk Negara Republik, sebaliknya tersurat dianut bentuk Negara Republik tapi dalam pelaksanaannya terserapkan bentuk Negara Monarchi. Dalam bentuk inilah Penulis memposisikan Negara Republik Indonesia baik rezim yang sedang berjalan, Orde lama dan Orde baru ini tidak menentukan kapan akan sampai kepada tujuan akhir.

Bila kita membuka kepustakaan tentang bentuk Negara bukankah “ARISTOTELES” berpahamkan Sistem Demokrasi itu adalah sistem pemerosotan dari bentuk Negara yang ideal disebut dengan Politeia adalah Tokoh Negarawan yang bernama Polybios yang berpahamkan bentuk Negara Demokrasi merupakan bentuk Negara yang ideal. Oleh sebab itu tidak heran kalau tipe kepemimpinan Tokoh-tokoh di Negara Republik Indonesia ini masing-masing berceloteh tentang Sistem Demokrasi, akan tetapi berujung kepada mementingkan kehidupan pribadi, keluarga dan kroninya. Bak kata Tokoh Politik MC. IVER bahwa pemikiran tentang Demokrasi tidak akan pernah berakhir akan tetapi penerapannya yang tidak mencapai sasaran dan tujuan sebagaimana makna Sistem Demokrasi itu untuk dinikmati bangsanya secara relevan dan konsekuen.
Pemikiran Sistem Demokrasi inilah yang perlu diretas yang maksudnya dikaji dengan secara baik dan benar didalam penerapannya sehingga tidak hampa akan tujuan yaitu sistem demokrasi yang dianut tapi ujung-ujungnya rakyat tetap melarat.
Adalah penjabaran pemikiran yang unggul ketika dipahami bahwa hukum berisikan tiga elemen :
1. Materi hukumnya (isi hukum itu harus merujuk suatu keadilan tidak boleh diganggu oleh unsur non hukum);
2. Penegak hukumnya harus dibina dengan pembinaan yang berkecukupan baik secara finansial maupun secara moral;
3. Budaya hukumnya tidak dicekoki oleh unsur politis maksudnya strategi politis tidak boleh mendominasi (mengarahkan) eksisnya hukum, tetapi sebaliknya keberadaan hukum itu yang tumbuh ditengah masyarakat identik dengan budaya hukum dalam artian kaidah hukum itu menjadi soko guru daripada kemauan politik.
Penulis berpaham bila ketiga elemen dari hukum ini dapat diinteraksikan dengan kehidupan bernegara maka sekaligus itu merupakan pokok-pokok pikiran seorang negarawan yang dapat berbuah kesejahteraan terhadap bangsanya, bila si tokoh itu berada didalam lingkup pemberi masukan yang buah pikirannya bukan dikendalikan oleh nuansa politik semata tapi sebaliknya politik itu sebagai alat yang dijalankan oleh nuansa kenegaraan sehingga berbuah kesejahteraan dan kemuliaan bangsa.

MASUKAN KAJIAN PENULIS
Dalam pencermatan pemikiran Penulis, ada keinginan untuk mengungkapkan buah pikiran sebagai masukan daripada Penulis untuk kehidupan berbangsa dan bernegara :
1. Benar demokrasi sebagai ide tidak akan pernah lapuk karena hujan dan lekang karena panas, akan tetapi pertumbuhannya akan merosot bila itu hujan dalam arti penerapannya tidak mengalahkan pemikiran yang tidak untuk kepentingan umum serta dijalankan dengan bertitik tolak untuk adanya itu adalah mahal, lalu pengalihannyapun berupa penggunaannya dibuat harga yang mahal maka ketika itulah pemikiran tentang demokrasi akan merosot menjadi Ochloctratie / Mobocratie.
Disinilah Pemimpin Republik Indonesia berada sekarang. Oleh sebab itu bila akan mendaratkan pemikiran demokrasi pada suatu kenyataan rakyat sejahtera dan mulia maka pelaku yang menjalankan sistem demokrasi harus dapat mengukur secara obyektif apa yang diperbuatnya untuk rakyat dan Negara bukan mengedepankan perbuatannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya. Secara lugasnya berhenti melakukan perbuatan KORUPSI;
2. Untuk menerapkan sistem demokrasi agar jangan merosot menjadi Ochloctratie / Mobocratie maka rakyat yang berperan dalam eksistensinya yaitu Parlemen baik didalam memberdayakan partainya maupun kinerja didalam penerapan strategi untuk mendapatkan kekuasaan harus menjaga keseimbangan yang obyektif yang setara antara materiil dan moril;
3. Dalam tatanan kerja menjalankan sistem demokrasi harus tetap diberlakukan Check and Balance bagi pihak yang berperan menginteraksikan budaya hukum menjadi suatu kaidah normative sehingga mencapai sasaran tujuan kesejahteraan rakyat.

Akhir kata Penulis berpikiran 62 tahun cukup sudah perjalanan Negara Republik Indonesia terhitung dari pekik pernyataan kemerdekaannya, bilamana Stick Holder dalam ketiga sisi fungsi kelembagaan Negara dan perangkat Negara terkait sebagai unsur percepatan untuk mencapai kesejahteraan bangsa tetap berada pada posisi teledor memikirkan kesejahteraan dan kemuliaan bangsanya maka barang tidak mungkin makin panjang umur Republik ini makin tambah penyiksaan kehidupan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Akhirnya Penulis mengungkapkan kalimat kunci untuk membumikan agar reformasi untuk kesejahteraan rakyat, maka Penulis menanyakan kepada Stick Holder :
“Sanggupkan Stick Holder kenegaraan tidak berbuat korupsi, sanggupkah subsistem fungsi Negara menghukum orang-orang yang korupsi dan akhirnya mungkinkah hukum di Republik Indonesia menjadi panglima ditanah air Republik Indonesia”.