Oleh : Hj. Dodoy Suharyati, S.H., M.H.
A. Pendahuluan
Banyaknya
perselisihan/pertengkaran/ persengketaan yang terjadi dalam masyarakat
merupakan hal yang tidak dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri. Adanya pergaulan
masyarakat dimana masing-masing orang sangat beraneka ragam tabiat maupun
kepentingannya, sudah dapat dipastikan akan muncul ketidak harmonisan/perselisihan/pertengkaran
yang kadang-kadang disebabkan oleh hal-hal yang sepele, dan tidak mempunyai
akibat hukum apapun.
Suatu perselisihan muncul ke
permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa
berhak atas apa yang diperselisihkan, sebab kalau salah satu pihak dari yang
berselisih merasa bersalah dan tahu dia tidak berhak atas sesuatu yang
diperselisihkan, maka perselisihan itu tidak akan terjadi. Perselisihan itu
tidak ada atau berakhir tatkala ketidak benaran dan ketidak berhakan atas
sesuatu yang diperselisihkan itu disadari.
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan /konflik yang
sedang terjadi atau yang sedang mereka hadapi.
Dalam konflik yang terjadi dalam masyarakat
kadang-kadang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak itu sendiri, sehingga
mereka terpaksa menyelesaikan konflik tersebut dengan membawanya ke lembaga
peradilan. Konflik yang terjadi biasanya diakibatkan dari berbagai kepentingan
yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat yang saling bertabrakan.
Untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata
tertib, yaitu dengan membuat ketentuan-ketentuan atau kaedah hukum, yang harus
ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup
bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan tersebut, setiap orang
diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota
masyarakat lainnya akan terjaga dan terlindungi. Apabila kaedah hukum itu
dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Yang dimaksudkan dengan kepentingan diatas adalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata
materil. Hukum Perdata materil itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan
yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.
Pelaksanaan dari Hukum Perdata (materi) dapat berlangsung secara diam-diam
diantara para pihak yang bertransaksi, tanpa harus melalui instansi resmi.
Namun acapkali terjadi Hukum Perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak-pihak
yang dirugikan dan terjadilah ganguan keseimbangan kepentingan didalam
masyarakat. Dalam hal ini hukum perdata meteril yang telah dilanggar harus
dipertahankan dan ditegakkan. Untuk menegakkan dan mempertahankan hukum perdata
materil apabila ada penuntutan hak, diperlukan rangkaian peraturan hukum lain
yang disebut Hukum Formil atau Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan
peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum
perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara.yaitu terjadi melalui
Pengadilan. Cara ini disebut cara Litigasi.
Disamping dengan cara Litigasi, dikenal
juga cara penyelesaian sengketa ini dengan melalui lembaga-lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution/ADR) yaitu
penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dinamakan non litigasi. Hal ini
dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada
dasarnya dalam cara litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang
berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya
sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa,
bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para
penggugat.
B.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Penyelesaian perselisihan (perkara)
perdata yang sederhana, cepat dan murah adalah dambaan kita semua. Harapan
tersebut didasari dan didukung pula dengan keberadaan undang-undang Nomor 14
tahun 2007, dimana dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 nya menyebutkan :
“ Dalam perkara perdata , Pengadilan membantu para
pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.”
Harapan dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 diatas juga
dijelaskan dalam Penjelasan umum angka 8 sebagai suatu moto peradilan, yang
secara lengkap berbunyi :
“Ketentuan bahwa PERADILAN DILAKUKAN DENGAN
SEDERHA-NA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN” tetap harus dipegang teguh yang tercermin
dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang
termuat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih
sederhana.”
Namun harapan tersebut sangat sulit untuk diwujudkan dalam kenyataannya,
bahkan dalam prakteknya pelaksanaan peradilan perdata semangkin jauh dari
harapan. Terbukti akhir-akhir ini muncul suara-suara sumbang yang mencerca
lembaga peradilan sebagai penyelesaian masalah yang menimbulkan masalah,
sehingga slogan peradilan mengatasi
masalah tanpa masalah tidak dapat diciptakan.
Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang
dianggap terlampau padat (overloaded), lamban
dan buang waktu (waste of time),
mahal (very expexive) dan kurang tanggap
(unresponsive) terhadap kepentingan
umum serta dianggap terlampau formalistik (formalistic)
dan terlampau teknis (technically)
menurut Yahya Harahap.[1]
Pada masa sekarang bersifat mendunia, sama-sama mendapat lontaran kritik di
semua negara. Itu sebabnya masalah
peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien,
terjadi dimana-mana. Sistem peradilan
Inggris dianggap lambat dan mahal (delay
and expensive) sehingga penyelesaian perkara yang dihasilkan dianggap
putusan yang tidak adil (injustice).
Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak
efisien dan tidak adil (civil procedure
was neither efficient no fair).
Apabila terhadap kritik peradilan itu benar adanya, maka perlu adanya
perbaikan-perbaikan. Secara menarik
Satjipto Rahardjo menguraikan agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya
sesuai harapan, yaitu pertama-tama para warga masyarakat haruslah bergerak
untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga ini. Mereka harus
senantiasa bersedia untuk membawa perkara-perkaranya ke depan pengadilan untuk
diselesaikan. Ada bermacam-macam alasan
yang dapat menjadi pendorong sehingga warga negara bersedia untuk membawa
perkara-perkaranya itu ke pengadilan. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah
:
-
Kepercayaan,
bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti yang mereka
kehendaki.
-
Kepercayaan,
bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran,
mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya.
-
Bahwa
waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia.
-
Bahwa
pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh
perlindungan hukum.
Sementara itu pada tahun 1985 Lord
Hailsham (dibantu oleh sebuah panitia), mengemukakan usul perbaikan sistem
peradilan, terutama yang berkenaan dengan proses penyelesaian perkara perdata
dan bisnis. Usul yang dimukakan, mencoba memadu unsur-unsur sistem ”manajemen”
kedalam acara perdata. Dengan harapan akan terwujud suatu sistem peradilan yang
effisien dan produktif. Usul yang dimukakan Lord Hailsham ini, oleh sementara
kalangan dianggap proposal dan radikal (radical
proposal)[2]
Usul
tersebut antara lain :
-
Penggabungan peradilan tingkat pertama (country court) dengan peradilan tingkat
banding (high court). Kedua tingkat
peradilan tersebut “terintegrasi”
yang disebut dengan “one court entry
system” atau “unified court system”,
atau disebut juga “one court entry system”.
-
“Full pre-trial
disclosure” maksudnya, pada saat gugatan diajukan, sekali gus dibarengi
dengan pengajuan bukti-bukti, termasuk keterangan para saksi (witness statements).
-
Jalannya pemeriksaan perkara diatur dengan sistem
manajemen, berupa “time takle” yang
terprogram, agar dapat dihindari biaya mahal dan pemeriksaan yang
berlarut-larut.
-
Untuk mencapai produktivitas penyelesaian perkara,
diperlukan penambahan anggaran biaya untuk membiayai tambahan “jam persidangan
setiap hari” (extra hour’s setting per
day) pada setiap tingkat peradilan. Paling tidak, harus ada penambahan
ekstra sidang 25 % dari biasa.
-
Mengembangkan
sistem baru, berupa “in court arbitration
system”. Sistem ini perpaduan proses
litigasi dan arbitrase. Kasus gugat perdata yang nilai gugatan antara a 1.000
sampai a.5.000 diselesaikan melalui arbitrase, yang bertindak sebagai arbitrater
ialah hakim sendiri, dengan demikian putusan yang dijatuhkan langsung ”final
and banding” dan tertutup upaya banding dan kasasi.
Perselisihan atau sengketa merupakan hal yang tidak dikehendaki, akan
tetapi pada kenyataannya sulit untuk dihindari meskipun derajat keseriusannya
berbeda-beda. Di Indonesia pada dasarnya perselisihan yang terjadi dalam
masyarakat cukup diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Pengadilan
sebagai salah satu cara penyelesaian yang paling populer akan selalu berusaha
untuk menghindarinya, karena selain proses dan jangka waktunya yang relatif
lama dan berlarut-larut serta dengan berbagai kelemahan yang ada.
Apabila kita baca rumusan pasal 1 angka 10 dan alineal ke sembilan dari
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dikatakan bahwa masyarakat
dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa.
Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian
sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
dengan cara mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut dapat kita lihat
pada uraian dibawah ini.
1.
Negosiasi
Ketentuan pasal 6 ayat 2 UU No. 30 tahun
1999 pada dasarnya para pihak berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang
timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya
harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.
Negosiasi mirip dengan perdamaian
sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUHPerdata, dimana perdamaian itu
adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang
tergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat
secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang
membedakan antara negosiasi dengan perdamaian, yaitu :
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu
penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus
dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang
bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga
alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan,
sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan
dilakukan maupun setelah sidang pengadilan dilaksanakan, baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
2.
Mediasi
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 3 UU No. 30 tahun 1999, atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator.
Kesepakatan penyele-saian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan
tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan :
-
Mediator
yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak;
-
Mediator
yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa atas permintaan para pihak.
3.
Konsiliasi
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan
sebagai upaya membawa pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara
negosiasi. Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi
orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya
setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencai suatu
kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan
tersebut tidak mengikat (Huala Adolf, 1994:186). [3]
Seperti pranata alternatif penyelesaian
sengketa yang telah diuraikan diatas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara
jelas dalam UU No. 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai
perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi,
melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di
dalam maupun diluar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa
dimana telah memperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap
4.
Arbitrase
Pasal 52 UU No. 30 tahun 1999 menyebutkan bahwa
para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat
dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana yang
dimaksudkan dalam pasal 52 diatas tidak dapat dilakukan perlawanan melalui
upaya hukum apapun.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan
dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang diberikan dalam pasal 1 angka 8
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang berbunyi :
” Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai hubungan hukum tertentu dalam
hal belum timbul sengketa”.
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding)
oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pen-dapatnya pada lembaga
arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract
– wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk
upaya hukum apapun.
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya sudah lama ada dan dikenal dalam masyarakat, meskipun jarang dipergunakan.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op
de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun
Rechtsreglement Bitengewesten (RBg). Karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s.d 651 Reglement of
de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan
tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU Nomor 30
tahun 1999.
Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengakui keberadaan arbitrase ini, hal ini
dapat kita lihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan
bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui proses arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah untuk dieksekusi
dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1
Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam
2 (dua) bentuk, yaitu :
- Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbul sengketa.
(Factum de compromitendo) atau;
-
Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul
sengketa
(Akta Kompromis).
Objek perjanjian Arbitrase (sengketa yang akan
diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang-Undang
nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang
perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan penanaman modal,
industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu pasal 5 ayat (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa
yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d
1854.
Penjelasan umum Undang-Undang nomor
30 tahun 1999 terdapat beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
- dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
- dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan
administratif
- para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil.
- para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase, dan
- putusan arbiter merupakan putusan yang me-
ngikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
Menurut Prof Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian
sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu
bahwa ia dilakukan :
-
dengan
cepat
-
oleh
ahli dan
-
secara
rahasia.
Sementara menurut HMN. Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan
wasit (arbitrase) adalah :
-
Penyelesaian
sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
-
Para
wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
-
Putusan
akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
-
Putusan
pengadilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang
kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan
perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
C.
Penutup
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase sebagai pranata
alternatif penyelesaian sengketa yang didahulukan berdasarkan Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 perlu dikembangkan dan
dimasyara-katkan, karena pada dasarnya kita tidak ingin bersentuhan dengan
konflik, bahkan, menumpuknya perkara di Badan Peradilan pun, lambat tetapi
pasti, kalau lembaga-lembaga alternatif Penyelesaian sengketa tersebut sudah
membudaya di masyarakat , maka akan berkurang/bisa dikurangi.
Berkurangnya kepercayaan
masyarakat kepada lembaga peradilan, kiranya perlu diusahakan untuk melakukan
pembenahan, baik pada aturan perundang-undangan yang sudah ada maupun sarana
dan prasarananya, termasuk pula didalamnya moralitas (ini barangkali yang
terpenting), yaitu sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses
peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
-
Satjipto
Raharjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung,
Alumni, 1978
-
M.
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai
Sistem Peradilan dan Penyelesai an Sengketa, Bandung,
PT.Citra Aditya Bakti, 1997,
-
Joni
Emirzon, Alternatif penyelesaian sengketa
di luar Pengadilan,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkt, 2001
-
R
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
-
R.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, 1996
-
HMN.
Purwosutjipto, Hukum Perwasitan,
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Buku Kedelapan, Jakarta, Djambatan,
2003.
-
Undang-Undang
nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyele-saian Sengketa
-
Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Hakim.
[1] M. Yahya Harahap, BeberapaTtinjauanMengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1997, h. 16.
[2] Ibid, h.16
[3] Joni Emirzon, Alternatif penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkt,
2001 h.90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar