Selasa, 20 November 2012

PERSPEKTIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA


Oleh : Hj. Dodoy Suharyati, S.H., M.H.

A.    Pendahuluan
Banyaknya perselisihan/pertengkaran/ persengketaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri. Adanya pergaulan masyarakat dimana masing-masing orang sangat beraneka ragam tabiat maupun kepentingannya, sudah dapat dipastikan akan muncul ketidak harmonisan/perselisihan/pertengkaran yang kadang-kadang disebabkan oleh hal-hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun.
Suatu perselisihan muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan, sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu dia tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, maka perselisihan itu tidak akan terjadi. Perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidak benaran dan ketidak berhakan atas sesuatu yang diperselisihkan itu disadari.
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan /konflik yang sedang terjadi atau yang sedang mereka hadapi.
Dalam konflik yang terjadi dalam masyarakat kadang-kadang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak itu sendiri, sehingga mereka terpaksa menyelesaikan konflik tersebut dengan membawanya ke lembaga peradilan. Konflik yang terjadi biasanya diakibatkan dari berbagai kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat yang saling bertabrakan. Untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan-ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan tersebut, setiap orang diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan terlindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Yang dimaksudkan dengan kepentingan diatas adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil. Hukum Perdata materil itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.
Pelaksanaan dari Hukum Perdata  (materi) dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bertransaksi, tanpa harus melalui instansi resmi. Namun acapkali terjadi Hukum Perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak-pihak yang dirugikan dan terjadilah ganguan keseimbangan kepentingan didalam masyarakat. Dalam hal ini hukum perdata meteril yang telah dilanggar harus dipertahankan dan ditegakkan. Untuk menegakkan dan mempertahankan hukum perdata materil apabila ada penuntutan hak, diperlukan rangkaian peraturan hukum lain yang disebut Hukum Formil atau Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara.yaitu terjadi melalui Pengadilan. Cara ini disebut cara Litigasi.
Disamping dengan cara Litigasi, dikenal  juga cara penyelesaian sengketa ini dengan melalui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution/ADR) yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dinamakan non litigasi. Hal ini dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada dasarnya dalam cara litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.

B.     Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Penyelesaian perselisihan (perkara) perdata yang sederhana, cepat dan murah adalah dambaan kita semua. Harapan tersebut didasari dan didukung pula dengan keberadaan undang-undang Nomor 14 tahun 2007, dimana dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 nya menyebutkan :
“ Dalam perkara perdata , Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”
Harapan dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 diatas juga dijelaskan dalam Penjelasan umum angka 8 sebagai suatu moto peradilan, yang secara lengkap berbunyi :
  “Ketentuan bahwa PERADILAN DILAKUKAN DENGAN SEDERHA-NA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN” tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang termuat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana.”
Namun harapan tersebut sangat sulit untuk diwujudkan dalam kenyataannya, bahkan dalam prakteknya pelaksanaan peradilan perdata semangkin jauh dari harapan. Terbukti akhir-akhir ini muncul suara-suara sumbang yang mencerca lembaga peradilan sebagai penyelesaian masalah yang menimbulkan masalah, sehingga slogan peradilan mengatasi masalah tanpa masalah tidak dapat diciptakan.
Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), mahal (very expexive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically) menurut Yahya Harahap.[1] Pada masa sekarang bersifat mendunia, sama-sama mendapat lontaran kritik di semua negara.  Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien, terjadi dimana-mana.  Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan mahal (delay and expensive) sehingga penyelesaian perkara yang dihasilkan dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair).
Apabila terhadap kritik peradilan itu benar adanya, maka perlu adanya perbaikan-perbaikan.  Secara menarik Satjipto Rahardjo menguraikan agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya sesuai harapan, yaitu pertama-tama para warga masyarakat haruslah bergerak untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga ini. Mereka harus senantiasa bersedia untuk membawa perkara-perkaranya ke depan pengadilan untuk diselesaikan.  Ada bermacam-macam alasan yang dapat menjadi pendorong sehingga warga negara bersedia untuk membawa perkara-perkaranya itu ke pengadilan. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah :
-          Kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti yang mereka kehendaki.
-          Kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya.
-          Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia.
-          Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum.
Sementara itu pada tahun 1985 Lord Hailsham (dibantu oleh sebuah panitia), mengemukakan usul perbaikan sistem peradilan, terutama yang berkenaan dengan proses penyelesaian perkara perdata dan bisnis. Usul yang dimukakan, mencoba memadu unsur-unsur sistem ”manajemen” kedalam acara perdata. Dengan harapan akan terwujud suatu sistem peradilan yang effisien dan produktif. Usul yang dimukakan Lord Hailsham ini, oleh sementara kalangan dianggap proposal dan radikal (radical proposal)[2]
Usul tersebut antara lain :
-          Penggabungan peradilan tingkat pertama (country court) dengan peradilan tingkat banding (high court). Kedua tingkat peradilan tersebut “terintegrasi” yang disebut dengan “one court entry system” atau “unified court system”, atau disebut juga “one court entry system”.
-          Full pre-trial disclosure” maksudnya, pada saat gugatan diajukan, sekali gus dibarengi dengan pengajuan bukti-bukti, termasuk keterangan para saksi (witness statements).
-          Jalannya pemeriksaan perkara diatur dengan sistem manajemen, berupa “time takle” yang terprogram, agar dapat dihindari biaya mahal dan pemeriksaan yang berlarut-larut.
-          Untuk mencapai produktivitas penyelesaian perkara, diperlukan penambahan anggaran biaya untuk membiayai tambahan “jam persidangan setiap hari” (extra hour’s setting per day) pada setiap tingkat peradilan. Paling tidak, harus ada penambahan ekstra sidang 25 % dari biasa.
-          Mengembangkan sistem baru, berupa “in court arbitration system”.  Sistem ini perpaduan proses litigasi dan arbitrase. Kasus gugat perdata yang nilai gugatan antara a 1.000 sampai a.5.000 diselesaikan melalui arbitrase, yang bertindak sebagai arbitrater ialah hakim sendiri, dengan demikian putusan yang dijatuhkan langsung ”final and banding” dan tertutup upaya banding dan kasasi.
Perselisihan atau sengketa merupakan hal yang tidak dikehendaki, akan tetapi pada kenyataannya sulit untuk dihindari meskipun derajat keseriusannya berbeda-beda. Di Indonesia pada dasarnya perselisihan yang terjadi dalam masyarakat cukup diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian yang paling populer akan selalu berusaha untuk menghindarinya, karena selain proses dan jangka waktunya yang relatif lama dan berlarut-larut serta dengan berbagai kelemahan yang ada.
Apabila kita baca rumusan pasal 1 angka 10 dan alineal ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut dapat kita lihat pada uraian dibawah ini.
1.      Negosiasi
Ketentuan pasal 6 ayat 2 UU No. 30 tahun 1999 pada dasarnya para pihak berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.
Negosiasi mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUHPerdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang tergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan antara negosiasi dengan perdamaian, yaitu :
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang pengadilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

2.      Mediasi
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 3  UU No. 30 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyele-saian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan :
-          Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak;
-          Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa atas permintaan para pihak.

3.      Konsiliasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat (Huala Adolf, 1994:186). [3]
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan diatas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam UU No. 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun diluar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah memperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

4.      Arbitrase
Pasal 52 UU No. 30 tahun 1999 menyebutkan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 52 diatas tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang diberikan dalam pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang berbunyi :
” Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pen-dapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama ada dan dikenal dalam masyarakat, meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg). Karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s.d 651 Reglement of de rechtvordering.  Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU Nomor 30 tahun 1999.
Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman juga mengakui keberadaan arbitrase ini, hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui proses arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.  Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
-  Klausula arbitrase yang tercantum dalam   suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
      (Factum de compromitendo) atau;
-    Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang  
     dibuat para pihak setelah timbul  sengketa  
     (Akta Kompromis).
Objek perjanjian Arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.  Sementara itu pasal 5 ayat (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penjelasan umum Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 terdapat beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
-   dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
-   dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan       
     karena hal prosedural dan    administratif
-    para pihak dapat memilih arbiter yang  
     menurut pengalaman serta latar     belakang  
     yang cukup mengenai masalah yang
     disengketakan, jujur dan adil.
-    para pihak dapat menentukan pilihan hukum  
     untuk menyelesaikan masalahnya serta  
     proses dan tempat penyelenggaraan
     arbitrase, dan
-   putusan arbiter merupakan putusan yang me-
     ngikat para pihak dan dengan melalui tata  
     cara (prosedur) sederhana saja ataupun
     langsung dapat dilaksanakan.
Menurut Prof Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan :
-          dengan cepat
-          oleh ahli dan
-          secara rahasia.
Sementara menurut HMN. Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah :
-          Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
-          Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
-          Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
-          Putusan pengadilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

C.    Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase sebagai pranata alternatif penyelesaian sengketa yang didahulukan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999  perlu dikembangkan dan dimasyara-katkan, karena pada dasarnya kita tidak ingin bersentuhan dengan konflik, bahkan, menumpuknya perkara di Badan Peradilan pun, lambat tetapi pasti, kalau lembaga-lembaga alternatif Penyelesaian sengketa tersebut sudah membudaya di masyarakat , maka akan berkurang/bisa dikurangi.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, kiranya perlu diusahakan untuk melakukan pembenahan, baik pada aturan perundang-undangan yang sudah ada maupun sarana dan prasarananya, termasuk pula didalamnya moralitas (ini barangkali yang terpenting), yaitu sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses peradilan.


DAFTAR PUSTAKA

-          Satjipto Raharjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978
-          M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesai an Sengketa,  Bandung,  PT.Citra Aditya Bakti, 1997,
-          Joni Emirzon, Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkt, 2001
-          R Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
-          R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1996
-          HMN. Purwosutjipto, Hukum Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Buku Kedelapan, Jakarta, Djambatan, 2003.
-          Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyele-saian Sengketa
-          Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Hakim.


Sudah dimuat dalam Majalah Disiplin Majalah civitas Akademika STIH Sumpah Pemuda Palembang Vol. 14 No.02-Mei 2010 ISSN. 1411 - 0261


[1]  M. Yahya Harahap, BeberapaTtinjauanMengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,  
   Bandung,  PT.Citra Aditya Bakti, 1997, h. 16.
[2]  Ibid, h.16
[3]  Joni Emirzon, Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkt, 
   2001 h.90

Tidak ada komentar: