Selasa, 27 November 2012

SISTEM PENGAWASAN BPOM DALAM MENGAWASI MAKANAN YANG BEREDAR DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI BPSK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berkembangnya dunia usaha dan perdagangan bebas merupakan pendorong bagi berkembangnya perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tingkat kemajuan ekonomi nasional, berbagai kemudahan serta fasilitas diberikan oleh pemerintah untuk menghidupkan usaha bisnis dan perdagangan diberbagai sektor pemenuhan kebutuhan manusia akan barang dan jasa. Dengan berkembangnya perekonomian nasional, diharapkan dapat menunjang pembangunan negara khususnya dibidang perekonomian. Dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Disamping itu juga pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  telah memperluas arus transaksi barang  atau jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi, baik dari produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
1
 
Keadaan yang demikian, bagi konsumen banyak memberikan manfaat karena barang atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, dan juga konsumen bebas dalam memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa                                              yang ditawarkan sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, berdasarkan Pasal 4 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai hak dan kewajiban konsumen.
“Namun dihadapkan dengan kenyataan, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang., dimana konsumen dijadikan objek para pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga diantara pelaku usaha menimbulkan sikap persaingan yang tidak sehat tanpa memperhatikan akibat yang dapat merugikan pihak konsumen, dimungkinkan oleh kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi di bidang informasi seperti mass media, iklan, majalah-majalah, radio, dan televisi.”1)

Dengan ketidak berdayaan konsumen dalam menghadapi para pelaku usaha jelas sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen. ”Dengan cara para pelaku usaha berlindung dari perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, ataupun melalui informasi yang terbatas yang diberikan kepada konsumen.”2)
Dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang                   nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999, dan bersamaan dengan undang-undang ini juga telah lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diharapkan dapat menciptakan perdagangan yang adil tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen, baik selaku pengguna maupun pemakai barang atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha.
Kegiatan pengawasan merupakan salah satu faktor yang penting dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, yang mana dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUPK, yang bunyinya sebagai berikut
1)      Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2)      Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait
3)      Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar
4)      Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5)      Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga  perlindungan swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis
6)      Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Berpedoman pada penjelasan diatas, perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, serta lembaga perlindungan swadaya masyarakat  dalam mengawasi barang atau jasa yang ditawarkan, yang mana harus memenuhi kelayakan produksi yang berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang atau jasa sebelum diperdagangkan dan dikonsumsi oleh  konsumen.
Selain pengawasan, ”faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah kesadaran konsumen akan hak-haknya yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan konsumen”3). Oleh karena itu, UUPK dibentuk dan dijadikan landasan dalam melindungi para konsumen. Peran pemerintah, masyarakat, serta lembaga perlindungan swadaya masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam memberikan perlindungan bagi para konsumen. Sebagaimana hak konsumen untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan berdasarkan pasal 4 huruf (f) UUPK.
Upaya pemberdayaan konsumen sangat penting dan tidaklah mudah mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha, mengingat pelaku usaha menerapkan prinsip ekonomi dengan modal yang seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan secara intensif akan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen dalam melindungi dirinya sendiri, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab, berdasarkan Pasal 3 huruf  (a) mengenai tujuan perlindungan konsumen.
Pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan akan membawa dampak positif bagi para konsumen, ketika mereka sebagai konsumen merasa telah dirugikan atas barang atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha, sebagai konsumen yang dirugikan mereka akan mendapatkan perlindungan hukum serta dapat mengajukan gugatan, tuntutan, dan mendapatkan ganti rugi (jika memang terbukti bersalah) berdasarkan UUPK.
Dari uraian tersebut, secara singkat penulis akan menitikberatkan pada persoalan yang berkaitan dengan penulisan ini, yakni dengan terbuka lebarnya arus transaksi barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri maupun diproduksi luar negeri, haruslah ada pengawasan yang dilakukan pemerintah. Dan jika terbukti para pelaku usaha melakukan kelalaian ataupun kesengajaan dalam menawarkan barang dan jasa yang mengakibatkan konsumen telah dirugikan, diharapkan adanya upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa konsumen berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dari uraian tersebut diatas, penulis mengemukakan permasalah yang akan penulis ajukan dalam penelitian yang berjudul :
”SISTEM PENGAWASAN BPOM DALAM MENGAWASI  MAKANAN YANG BEREDAR DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI BPSK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.”

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat dirumuskan dua masalah yang menjadi objek kajian dan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu :
  1. Bagaimanakah sistem pengawasan BPOM dalam mengawasi makanan yang beredar?
  2. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa melalui BPSK menurut Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen?

C. Ruang Lingkup
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh mengenai penelitian  ini dan juga untuk menghindari agar pembahasan permasalahannya tidak menyimpang dari masalah pokok, maka diberikan batasan dengan menunjuk ruang lingkup yang berkaitan dengan judul, maka penulis mengkhususkan pada ruang lingkup mengenai makanan yang beredar diwilayah kota Palembang.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mencari kejelasan guna melengkapi pengetahuan teoritis yang penulis miliki, sehingga penulis dapat mengembangkan ilmu yang penulis miliki khususnya dibidang perlindungan konsumen ataupun sebagai kontribusi  pengetahuan bagi yang berkepentingan.
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui BPOM dalam mangawasi makanan yang beredar dan meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam upaya penyelesaian sengketa melalui BPSK jika konsumen dirugikan.

D. Metodologi
Selaras dengan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis yang bersifat penjelajahan. Penelitian hukum yang akan dilaksanakan ini tergolong penelitian hukum normatif-empiris (applied law research), yaitu pemberlakuan pada peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto), dilukiskan secara skematis.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Sumber dan Jenis Data
Jenis data  dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :
1.      Data primer.
Bahan penelitian yang berupa data primer diperoleh secara langsung melalui  :
a.       Observasi di Lokasi Penelitian.
Penelitian dilakukan pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan Palembang dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Palembang
b.      Wawancara dengan Nara Sumber (Responden) secara langsung, yaitu kepada :
1.      Ketua Badan Pengawasan Obat dan Makanan Palembang
2.      Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Palembang
2. Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Sumber bahan hukum primer yaitu :
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.yang di sahkan dan di Undangkan tanggal 20 April 1999, LNRI No. 42 Tahun 1999. beserta peraturan pelaksanaannya.
Sumber bahan hukum sekunder adalah :
a.       Buku-buku litelatur ilmu hukum yang relevan dengan penelitian.
b.      Jurnal hukum, laporan hukum
c.       Media cetak atau elektronik dan berupa surat kabar harian.
Sumber bahan  hukum tersier :
1.      kamus hukum
2.      ensiklopedia.
       Sumber bahan hukum tersier merupakan bahan penunjang bagi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum. [1] Hasil analisis substansi kajian tersebut kemudian didiskripsikan secara lengkap, rinci dan sistematis dalam bentuk hasil penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan.
     

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Konsumen
A. 1. Pengertian Konsumen
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sebelum muncul UUPK yang diberlakukan Pemerintah mulai 20 April 2000, hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia.
“Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Dalam hal (GBHN, 1988, Bab IV, Ekonomi) “Kebijaksanaan harga yang layak bagi petani produsen maupun konsumen”, atau (GBHN-1993, Bab IV, F, butir 8) “Perdagangan dalam negeri dan distribusi diarahkan untuk memperlancar arus barang dan jasa serta melindungi kepentingan produsen dan konsumen”.4)
Diantara ketentuan normatif diatas, terdapat Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
“Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.”
     
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”. Istilah “pembeli” dapat dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

A.    2.Pengertian Konsumen Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Lain
Perundang-undangan Australia, “Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa tertentu dengan harga maksimum A.$. 15.000,- atau kalau harganya melebihi jumlah itu, barang atau jasa tersebut umumnya adalah digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah tangga” (“normally used for personal, family, or household purposes”).5)

Perundang-undangan Belanda, yang tersusun dalam BW-Belanda baru (NBW) tentang perjanjian pembelian konsumen. Konsumen dalam suatu pembelian.“Konsumen adalah pembeli orang alami yang tidak (bertindak) dalam rangka pelaksanaan profesi atau usaha.”6)

Undang-undang India, “Konsumen adalah setiap pembeli barang atau jasa yang disepakati, termasuk harga dan syarat-syarat pembayarannya, atau setiap pengguna selain pembeli itu, dan tidak untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.”7)
Dari tinjauan pada tiga perundang-undangan negara-negara lain, dapat dilihat beberapa hal tentang pengertian konsumen sebagai berikut :
1.      a.   Konsumen dapat terdiri dari mereka yang menggunakan barang atau jasa untuk tujuan membuat barang atau jasa lain, atau diperdagangkan kembali (untuk tujuan komersial)     
b.   Mereka ini disebut sebagai konsumen-antara.
c.   Melihat pada sifat penggunaan barang atau jasa tersebut, konsumen-antara ini sesungguhnya tidak lain dari pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahan milik Negara), dan dapat antara lain terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir (produsen) atau penyedia, atau penjual produk akhir (supplier, distributor, atau pedagang)

2.      a.   Konsumen dapat pula terdiri dari mereka yang menggunakan produk akhir untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup mereka, keluarganya dan atau rumah tangga (sebagai konsumen akhir dan untuk tujuan non-komersial).
      b.   Mereka disebut sebagai konsumen akhir
c.   Mereka pada pokoknya adalah orang alami (naturlijke person) dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan dan atau tujuan komersial lainnya.8)

A.  3.Hak Dan Kewajiban Konsumen
Pada bab terdahulu penulis menggungkapkan, akibat dari beraneka ragam barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha, baik dari produksi dalam negeri ataupun produksi dari luar negeri, mengakibatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang, yang dikarenakan pelaku usaha menjadikan konsumen sebagai objek untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui promosi, cara penjualan, serta penetapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Dengan pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban konsumen berdasarkan pasal 4 dan pasal 5 UUPK.
Hak-hak konsumen
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.      Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara banar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen menurut Presiden Amerika J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang terdiri atas.

a.       Hak memperoleh keamanan  (the right to safety)
b.      Hak memilih (the right to choose)
c.       Hak mendapat informasi (the right to be informed)
d.      Hak untuk didengar (the right to be hear)9)

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:

a.       Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
b.      Hak untuk memperoleh ganti rugi.
c.       Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
d.      Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.10)

Disamping itu, Masyarakat Ekonomi Eropa (Europese Economischa Gemeenschap atau EEG) menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

a.       Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.
b.      Hak perlindungan kepentingan ekonomi.
c.       Hak mendapat ganti rugi.
d.      Hak atas penerangan.
e.       Hak untuk didengar.11)

Kewajiban-kewajiban konsumen

a.       Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c.       Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan merupakan hal penting. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Seperti dalam halnya penggunaan obat-obatan yang berdasarkan etiket yang tertera dalam suatu produk.
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan atau jasa. Bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen pada saat melakukan transaksi pada produsen.
Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.
Kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut. Sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti dalam perkara perdata, sementara dalam perkara pidana tersangka atau terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan atau kejaksaan
Adanya kewajiban seperti diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban yang dilakukan konsumen tidaklah cukup jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha berdasarkan pasal 7 UUPK.

B.  Pelaku Usaha
B. 1. Pengertian Pelaku Usaha
Pasal 1 angka (3) UUPK, yaitu :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukkan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”



B.  2.Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak-hak pelaku usaha berdasarkan pasal 6 UUPK :
a.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.      Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik.
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi suatu barang dan atau jasa yang berkualitasnya lebih rendah daripada barang dan atau jasa yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.
Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf (b), (c), dan (d) sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan aparat pemerintah dan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf (b), (c), dan (d) adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut berdasarkan Pasal 5 huruf (d)
Tentang hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti hak-hak yang diatur dalam Undang-undang Perbankan, Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang Pangan, dan undang-undang lainnya. Berkenaan dengan berbagai undang-undang tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK adalah payung hukum bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan perlindungan konsumen.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha berdasarkan pasal 7 UUPK :
a.       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.      Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e.       Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f.       Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH.Perdata), bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. Dalam UUPK, beritikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, yang dimulai dari tahap barang diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya beritikad baik bagi konsumen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.
Kewajiban pelaku usaha dalam memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan merugikan konsumen.
Berdasarkan penjelasan UUPK, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Dan juga pelaku usaha dilarang dalam membeda-bedakan mutu pelayanan konsumen.
Kewajiban para pelaku usaha dalam menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku, bahwa pelaku usaha mengupayakan agar barang dan atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas, label, etiket dan sebagainya.
Pelaku usaha memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan. Berdasarkan penjelasan UUPK, yang dimaksud dengan barang danatau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakkan atau kerugian.
Disamping menjadi hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Hal ini juga merupakan kewajiban dari pelaku usaha dalam memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau jasa penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian 

C. Pengertian Pengawasan
Dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan masyarakat maupun dilingkungan tempat bekerja, istilah pengawasan, sering kita dengar dan tidak terlalu sukar untuk dimengerti. Akan tetapi, untuk memberikan suatu definisi atau batasan tentang pengawasan, ternyata tidak begitu mudah. Demikian pula bagi para ahli manajemen menganggap tidak begitu mudah untuk memberikan definisi tentang pengawasan. Hal ini terbukti dari banyaknya buku tentang manajemen yang juga memuat uraian tentang pengawasan, tanpa memberikan batasan mengenai pengawasan itu sendiri. Di samping itu banyak pula para ahli manajemen yang telah mendefinisikan tentang pengawasan. Dari definisi pengawasan yang diberikan bermacam-macam rumusannya, walaupun pada prinsipnya definisi tersebut tidak banyak berbeda.
Istilah pengawasan ditinjau dari segi tata bahasa, berasal dari kata “awas” yang artinya melihat, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat dengan seksama.
Sedangkan istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut “controlling” yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah “controlling” lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi di kalangan para ahli dan para sarjana telah disamakan pengertian “controlling” dengan pengawasan, jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali” yang artinya mengarahkan, memperbaiki, kegiatan yang salah arah dan meluruskan menuju ke arah yang benar. Akan tetapi, ada juga yang tidak setuju akan disamakannya istilah “controlling” dengan pengawasan, karena “controlling” pengertiannya lebih luas dari pada pengawasan dimana dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan saja hasil kegiatan dari mengawasi tadi, sedangkan “controlling” adalah disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian, yakni, menggerakkan, memperbaiki, dan meluruskan menuju arah yang benar.
Kenyataan dalam praktek sehari-hari bahwa istilah “controlling” itu sama dengan istilah pengawasan dan istilah pengawasan itupun telah mengandung pengertian yang luas, yakni tidak hanya bersifat melihat dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung arti pengendalian dalam arti menggerakkan, memperbaiki, dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan sesuai dengan apa yang direncanakan.
Sebagai bahan perbandingan di bawah ini penulis menguraikan beberapa batasan pengertian pengawasan : 
            “Pengawasan adalah penemuan dan penerapan cara dan peralatan untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditentukan”12) Menurut T. Hani Handoko.
           
“Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang dilakukan berjalan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya"13) Menurut Soedjono Dirdjosiswono.

  
D.  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

 D. 1. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 1 angka (11) UUPK :
“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah : badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”

Berdasarkan Bab XI dari Pasal 49 sampai dengan pasal 58 UUPK mengatur mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. yang selanjutnya akan disebut (BPSK).

D. 2.Pembentukan Dan Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 49 ayat (1) UUPK :
”Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUPK, menetapkan pembentukan BPSK hanya pada Daerah Tingkat II (kabupaten), memperlihatkan bahwa putusan BPSK sebagai badan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding dan kasasi. Berkenaan dengan pembentukan BPSK di Daerah Tingkat II sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),  dan juga berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juli 2001, pasal (1) ditentukan bahwa pembentukan BPSK dilakukan pada Pemerintahan Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makasar. Belum semuanya Daerah Tingkat II (kabupaten) di Indonesia dilakukan pembentukan BPSK, terbatas pada 10 Kota di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Kepres Nomor 90 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam pasal 49 ayat (2) :
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Warga Negara Republik Indonesia.
b.      Berbadan sehat.
c.       Berkelakuan baik.
d.      Tidak pernah dihukum karena kejahatan.
e.       Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen.
f.       Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.


D.  3.Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 52 UUPK :

a.       Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi
b.      Memberikan konsultasi perlindungan konsumen
c.       Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
d.      Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang
e.       Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
f.       Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen
g.      Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini
h.      Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini
i.        Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf (g) dan huruf (h), yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
j.        Mendapatkan, meneliti, dan/atau meneliti surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan, dan/atau pemeriksaan
k.      Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen
l.        Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
m.    Menjatuhkan saksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang




BAB III

SISTEM PENGAWASAN BPOM DALAM MENGAWASI MAKANAN YANG BEREDAR DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI BPSK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


A. Sistem Pengawasan BPOM Dalam Mengawasi Makanan Yang Beredar
Sebagaimana telah penulis uraikan pada bab terdahulu mengenai pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUPK tentang pengawasan, yang bunyinya sebagai berikut :
1)      Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2)      Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait
3)      Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar
4)      Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5)      Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga  perlindungan swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis
6)      Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dalam ketentuan Pasal 30 UUPK tentang pengawasan, cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan atau menteri terknis.
Apabila diperhatikan dalam substansi Pasal 30 UUPK, juga tampak bahwa pengawasan lebih menitikberatkan pada peran masyarakat dan LPKSM, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan atau menteri terknis seperti terlihat dalam Pasal 30 Ayat (1) UUPK, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar. Dan juga berdasarkan Pasal 30 Ayat (4) UUPK menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat dan atau LPKSM, untuk kemudian diambil tindakan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 30 Ayat (3), menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha, menuntut upaya pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak-haknya menjadi sangat penting. Upaya yang dimaksudkan, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya sekarang ini, khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran akan pentingnya pengetahuan di bidang hukum khususnya di bidang perlindungan konsumen.
Pengawasan yang diserahkan kepada masyarakat dan LPKSM sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UUPK, bukanlah tugas yang mudah untuk dilakukan. Suatu hal yang menggembirakan, telah lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, bahwa ketidakjelasan peran pemerintah yang seolah hanya menyerahkan tugas pengawasan kepada masyarakat dan LPKSM, kini menjadi jelas. Oleh karena itu, dalam Peraturan Pemerintah ini pemerintah ikut aktif dalam melakukan pengawasan sebagaimana masyarakat dan LPKSM, walaupun dengan objek pengawasan yang sedikit berbeda.
Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur dalam                     pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, bahwa :
1)      Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label, dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi.
2)      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
3)      Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat
4)      Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, ditentukan bahwa :
1)      Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa  yang beredar di pasar.
2)      Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei
3)      Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4)      Hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis terkait
Ketentuan tentang pengawasan yang diperankan oleh masyarakat tersebut sama dengan ketentuan pengawasan yang diperankan oleh LPKSM, hanya saja pengawasan yang dilakukan oleh LPKSM mensyaratkan bahwa penelitian, pengujian, dan atau survei yang dilakukan oleh LPKSM harus didasarkan pada adanya dugaan bahwa produk yang menjadi objek penelitian, pengujian dan atau survei tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Syarat ini, tidak dikenal dalam penelitian, pengujian, dan atau survei yang dilakukan oleh masyarakat. Secara konkrit pengawasan yang dilakukan pihak LPKSM ditentukan di dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, bahwa :
1)      Pengawasan LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
2)      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei. Disamping dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok.
3)      Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4)      Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat dilakukan baik sebelum atau sesudah terjadi hal-hal yang membahayakan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen
5)      Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
Menyangkut pengujian terhadap barang dan atau jasa yang beredar sebagaimana diatur dalam pasal 10 tersebut, dilaksanakan melalui laboratorium pengujian yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penunjukan pengujian hanya kepada laboratorium yang telah diakreditasi tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil uji yang objektif dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dari uraian di atas pasal 30 UUPK mengenai Pengawasan, yang mana dalam pengawasan tersebut dilakukan oleh Pemerintah melalui menteri dan menteri teknis terkait, masyarakat, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Berdasarkan permasalahan yang di hadapi penulis mengenai sistem pengawasan BPOM dalam mengawasi makanan yang beredar maka dari substansi pasal 30 UUPK mengenai pengawasan inilah sebagai perbandingan dalam pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
BPOM adalah singkatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Yang dimana BPOM ini dibentuk oleh pemerintah untuk turut berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Sama halnya dengan lembaga atau instansi lainnya BPOM ini memiliki tugas dan fungsi, sebagai berikut :
1.      Memberikan Pelayanan Informasi.
2.      Menerima Pengaduan.
3.      Mengolah dan meneruskan Informasi.
4.      Memantau proses pemecahan masalah dan menyampaikan hasilnya.14)

BPOM telah menyediakan ULPK, yaitu Unit Layanan Pengaduan Konsumen. Yang mana tugasnya  melayani pengaduan konsumen atau masyarakat tentang obat, makanan dan minuman, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, dan NAPZA, serta bahan-bahan yang berbahaya. ULPK ini dikoordinatori oleh sekretaris utama BPOM.15)

BPOM ini merupakan badan yang bersifat independent yang artinya tidak memihak kepada pihak produsen sebagai pihak pemberi barang dan jasa, pihak pemerintah dan juga pihak masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan barang dan jasa.
Tidak hanya tugas dan fungsi saja yang dimiliki oleh BPOM akan tetapi BPOM ini memiliki tujuan, tujuannya adalah tertampungnya pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan mutu dan keamanan serta permasalahan, aspek legalitas produk OMKABA (Obat, Makanan, dan Zat Berbahaya) untuk dilakukan pemecahan masalah secara cepat dan tepat melalui prosedur dan tatanan organisasi yang telah ada.16)
BPOM ini juga turut mengawasi makanan yang beredar di masyarakat. Sistem pengawasan BPOM dikembangkan dalam                  tiga (3) lapisan pengawasan dengan Interaksi Net Working yang dinamis, yang mana akan penulis uraikan sebagai berikut :
I.    Sub Sistem Pengawasan Produsen
Dalam sistem pengawasan Produsen ini terbagi empat (4) yaitu :
I. 1.   GMP (Good Manufacturing Practices)
Pengertian Good Manufacturing Practices ialah Cara produksi yang baik. Dimana cara produksi yang baik ini terdapat pedoman atau kategori dalam memenuhi cara produksi yang baik, diantaranya sebagai berikut :
a.      Lingkungan Produksi, harus bebas pencemaran, semak belukar, dan genangan air. Bebas dari sarang hama, khususnya serangga dan binatang pengerat. Tidak berada di daerah sekitar tempat pembuangan sampah baik sampah padat ataupun sampah cair. Tidak berada di daerah pemukiman penduduk.
b.      Bangunan dan Fasilitas, mencakup desain dan tata letak, lantai, dinding, langit-langit, pintu, jendela, lubang angin, kelengkapan ruang produksi, serta tempat penyimpanan. Yang dimana ruang produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan
c.       Peralatan Produksi, terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan. Peralatan produksi harus diletakkan sesuai dengan urutan prosesnya sehingga memudahkan karyawan yang bekerja.
d.      Suplai Air, air yang digunakan harus air bersih dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi. Sumber dan pipa air untuk keperluan selain pengolahan pangan seharusnya terpisah.
e.    Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi, fasilitas disini dapat berupa tempat cuci tangan dan toilet harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan selalu dalam keadaan bersih. Tersedianya alat cuci atau pembersih seperi sikat, pel, deterjen. Kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan perelatan harus dilakukan secara rutin.
f.       Pengendalian Hama, menjaga agar lubang-lubang dan selokan agar dalam keadaan tertutup. Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama.
g.      Kesehatan dan Higiene Karyawan, menyangkut masalah kesehatan dan kebersihan karyawan. Bagi karyawan yang menunjukkan gejala atau sakit misalnya sakit kuning, diare, muntah, demam, dan sebagainya tidak diperkenankan untuk mengolah pangan. Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya, mengenakan pakaian kerja lengkap.
h.      Pengendalaian Proses, untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan dapat dilakuakan dengan cara sebagai berikut :
·   Penetapan spesifikasi bahan baku
·   Penetapan komposisi dan formulasi bahan
·   Penetapan cara produksi yang baku
·   Penetepan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan
·   Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.

i.        Label Pangan, label pangan harus jelas dan informatif untuk memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk jika diperlukan. Keterangan pada label sekurang-kurangnya memuat : nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, tanggal, bulan, tahun kadaluarsa, nomor sertifikasi produksi.
j.        Penyimpanan, penyimpanan yang baik dapat menjamin mutu dan keamanan bahan dan produk yang diolah. Penyimpanan dilakukan di tempat yang bersih, harus sesuai dengan suhu penyimpanan, bahan yang dahulu masuk harus digunakan terlebih dahulu.
k.      Penanggung Jawab, seorang penanggung jawab diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman.
l.        Penarikan Produk, adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.
m.    Pencatatan dan Dokumentasi, pencatatan dan dokumentasi yang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.
n.      Pelatihan Karyawan, pemilik atau penaggung jawab harus sudah pernah mengikuti penyuluhan tentang Cara Produksi Pangan yang Baik, serta harus menerapkan, dan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan pada karyawan yang lain.

               I. 2.   PRE Marketing Vigilance
PRE Marketing Vigilance ialah Pengawasan sebelum mendapat izin edar dan setelah produksi. Yang dimana pengawasan tersebut dimulai pada saat pengolahan bahan mentah sampai menjadi bahan pangan yang siap untuk diedarkan.

I. 3.   Post Marketing Vigilance
Post Marketing Vigilance ialah Pengawasan setelah makanan atau pangan beredar dipasaran. Pengawasan ini dilakukan ketika pada tahap Inspeksi ke lapangan atau pasar yang selanjutnya akan diteliti.

I. 4.   HACCP (Hazard Analysis And Critical Control Point)
Hazard Analysis and Critical Control Point ialah Pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan POM, yang mana pada awal pengawasannya dimulai dari proses produksi, tahap pengolahan bahan mentah, pendistribusian sebelum makanan atau pangan tersebut beredar, serta pengawasan dipasaran  yang mana pangan atau makanan tersebut telah beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Dari tahapan-tahapan kegiatan pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan POM tersebut diberikan laporan yang telah dianalisa mengenai bahaya dan resiko serta nilai pengawasan yang dikupas secara kritis.

II.  Sub Sistem Pengawasan Pemerintah
Dalam sub sistem pengawasan Pemerintah, BPOM juga membagi kegiatan pengawasan tersebut dalam tujuh (7) kategori, yang diantaranya sebagai berikut :
1.   Regulasi, pengawasan yang dilaksanakan oleh BPOM atas peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berkenaan dengan kegiatan pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam ruang lingkup pengawasan makanan yang beredar di masyarakat. Seperti halnya terdapat didalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
2.   Standarisasi, mengenai ukuran-ukuran spesifik tertentu seperti halnya bentuk, ukuran, dan juga kadar zat-zat yang dipergunakan dalam pemakaian atau pembuatan makanan.
3.   Registrasi, setelah dari proses standarisasi yang telah ditentukan mengenai ukuran, bentuk serta karakteristik-karakteristik lainnya. Maka di tahap registrasi ini hasil dari produk-produk makanan yang telah dibuat akan diberikan nomor dan dinyatakan bahwa produk-produk tersebut telah memenuhi standar dalam pembuatannya
4.   Inspeksi, penyidikan yang dilakukan oleh BPOM mengenai pangan atau makanan yang telah beredar di masyarakat. Inspeksi ini dilakukan secara berkala setiap bulan sekali.
5.   Sampling, kegiatan yang dilakukan oleh BPOM mengenai inspeksi atau pemeriksaan tersebut ditemukan pangan atau makanan dan dianggap berbahaya, dibeli dan digunakan sebagai contoh atau sampling yang akan diujikan dalam laboratorium.
6.   Public Warning, jika dapat pengujian labotarium yang dilakukan oleh BPOM, terhadap makanan dan ditemukan hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan, kemanan dan keselamatan pada konsumen. Maka BPOM mengeluarkan dan menyebarkan serta menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat dan menteri.
7.   Layanan Aduan Konsumen, layanan aduan konsumen ini dibuat untuk memberikan pelayanan kepada konsumen berupa  informasi, menerima pengaduan dan sebagainya agar konsumen merasa aman, nyaman dan selamat dalam  mengkonsumsi produk-produk makanan.

III. Sub Sistem Pengawasan Konsumen
Adapun kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM dalam mengawasi sub sistem pengawasan konsumen terbagi menjadi dua (2) antara lain :
1.      Pemberdayaan Konsumen
Dalam pemberdayaan konsumen ini merupakan hal atau kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh BPOM, karena dalam mewujudkan perlindungan hukum khususnya dalam perlindungan konsumen, masyarakat atau pengguna barang dan jasalah yang menjadi subjek hukumnya. Dengan dilakukannya pengawasan oleh BPOM dalam pemberdayaan konsumen, akan menjadikan masyarakat atau konsumen tersebut menyadari apa yang telah menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya dalam menggunakan barang atau jasa khususnya dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

2.      Edukasi Konsumen
Dalam menindak lanjuti kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM dalam melakukan pemberdayaan konsumen, Edukasi merupakan kegiatan yang penting untuk dilakukan. Edukasi atau pendidikan merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan, dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia, yang akan berlanjut ke tingkat kesadaran masyarakat atau konsumen untuk memahami hak dan kewajiban mereka. Pemberian edukasi atau pendidikan yang dilakukan oleh BPOM dapat berupa pemberian informasi yang jelas bagi konsumen. Bukanlah tugas dari pelaku usaha, BPOM, atau pemerintah semata-mata, melainkan juga tugas dari konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat dipergunakannya untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian barang atau jasa tertentu. Untuk itu, pendidikan tentang perlindungan konsumen menjadi suatu hal yang harus dilakukan, tidak hanya untuk memberikan posisi yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main lebih adil bagi semua pihak.

B.     Upaya Dan Proses Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
B.1. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan      
        Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Tiga (3) macam bentuk upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BPSK :
a.      Konsiliasi, yaitu merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga bisa ditempuh di luar pengadilan. Konsiliasi ini juga dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui BPSK ini mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sedangkan Majelis BPSK bersifat pasif (hanya konsiliator atau pengarah). 
b.      Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, namun Majelis BPSK bertindak sebagai mediator atau penasehat agar proses persidangan berjalan sesuai ketentuan.
c.          Arbitrase, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak bersengketa, namun proses penyelesaiannya secara penuh diserahkan kepada Majelis BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing. (Konsumen memilih arbiter dari unsur Konsumen, Pelaku Usaha memilih arbiter dari unsur Pelaku Usaha dan Ketua Majelis dari unsur Pemerintah)17)

B.2.     Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
a.      Tahapan Permohonan, Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya. Permohonan yang dilakukan oleh ahli waris atau kuasanya dapat dilakukan apabila konsumen :
1.      Meninggal dunia
2.      Sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP)
3.      Belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Orang Asing (Warga Negara Asing)18) secara tertulis yang diterima oleh Sekretariat BPSK diberikan bukti tanda terima kepada pemohon. Sedangkan permohonan penyelesaian sengketa konsumen diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima. Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh Sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :
1.      Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris, atau kuasanya disertai bukti diri
2.      Nama dan alamat lengkap pelaku usaha
3.      Barang atau jasa yang diadukan
4.      Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain)
5.      Keterangan tempat, waktu, dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut
6.      Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh
7.      Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada19)

b.      Tahapan Persidangan, Ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap. Dalam surat penggilan dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam, dan tempat persidangan serta kewajiban para pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Majelis bersidang pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditetapkan sebagaimana yang tertera dalam surat penggilan tersebut.
c.   Tahapan Putusan, hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dan mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis tersebut diperkuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis. Keputusan Majelis tidak memuat sanksi administratif dalam penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi dan Mediasi.. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis.Keputusan Majelis dapat memuat sanksi administratif dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase.20)
Majelis wajib menyelesaiakan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.
Putusan Majelis didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Putusan Majelis adalah sebagai mana putusan BPSK dapat berupa :
a.       Perdamaian,
b.      Gugatan ditolak, atau
c.       Gugatan dikabulkan,

Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan keputusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima keputusan BPSK. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setelah batas waktu 7 (tujuh) hari, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.21)
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap putusan BPSK, dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Niaga di tempat konsumen dirugikan.


BAB IV
PENUTUP


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
A.  Kesimpulan
1.      Sistem pengawasan BPOM dikembangkan dalam tiga (3) lapisan pengawasan
A.    Sub Sistem Pengawasan Produsen
B.     Sub Sistem Pengawasan Pemerintah
C.     Sub Sistem Pengawasan Konsumen

2.   Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Tiga (3) macam bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BPSK :
a.      
51
 
Konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa konsumen dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sedangkan Majelis BPSK bersifat pasif (hanya konsiliator atau pengarah). 
b.      Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen dengan  mempertemukan para pihak yang bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, namun Majelis BPSK bertindak sebagai Mediator atau penasehat agar proses persidangan berjalan sesuai ketentuan.

c.       Arbitrase, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen dengan mempertemukan para pihak, proses penyelesaiannya diserahkan kepada Majelis BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing.

B.  Saran-saran
1.      Agar diadakan pengawasan oleh BPOM secara berkelanjutan, tidak hanya bagi pelaku usaha pabrikan tetapi juga bagi pelaku usaha industri rumah tangga (industri kecil). Dan  meningkatkan kinerja di bidang Unit Layanan Pengaduan Konsumen.
2.      Mengingat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Berkenaan dengan itu, diharapkan Pemerintah Kota Palembang menyediakan Kantor atau Sekretariat tersendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999.

 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004.

T. Hani Handoko, Manajemen edisi II, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta, 1999.

 Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahan Mengenai Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung,

Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Dan Perundang-undangan YangTterkait, Nuansa Aulia, Bandung, 2006.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Binacipta, Jakarta, 1980.



1)       Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Binacipta, Jakarta, 1980, hal 9

2)       Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 40
3)      Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal 149
[1] Ibid, hlm. 82, 151
4) Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hal 2
5) Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hal 11
6) Ibid, hal 12
7) Ibid, hal 12
8) Ibid, hal 12
9) Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, OP.Cit, hal 61
10) Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal 39
11) Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit, hal 61
12)  T. Hani Handoko, Manajemen edisi II, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hal 25
13) Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahan Mengenai Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hal 29
14) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM di Palembang, tgl 19 April 2007
15) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM di Palembang, tgl 19 April 2007
16) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM di Palembang, tgl 19 April 2007


17) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno, Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
18) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno, Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007

19) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno, Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007

20) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno, Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007

21) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno, Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007



Tidak ada komentar: