BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya
dunia usaha dan perdagangan bebas merupakan pendorong bagi berkembangnya
perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tingkat kemajuan ekonomi nasional,
berbagai kemudahan serta fasilitas diberikan oleh pemerintah untuk menghidupkan
usaha bisnis dan perdagangan diberbagai sektor pemenuhan kebutuhan manusia akan
barang dan jasa. Dengan berkembangnya perekonomian nasional, diharapkan dapat
menunjang pembangunan negara khususnya dibidang perekonomian. Dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual dalam era
demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Disamping
itu juga pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah
memperluas arus transaksi barang atau
jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa
yang ditawarkan bervariasi, baik dari produksi luar negeri maupun produksi
dalam negeri.
|
“Namun dihadapkan dengan kenyataan, kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang., dimana konsumen dijadikan objek para
pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga diantara
pelaku usaha menimbulkan sikap persaingan yang tidak sehat tanpa memperhatikan
akibat yang dapat merugikan pihak konsumen, dimungkinkan oleh kemudahan yang
diberikan oleh kemajuan teknologi di bidang informasi seperti mass media,
iklan, majalah-majalah, radio, dan televisi.”1)
Dengan
ketidak berdayaan konsumen dalam menghadapi para pelaku usaha jelas sangat
merugikan masyarakat sebagai konsumen. ”Dengan cara para pelaku usaha
berlindung dari perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, ataupun melalui
informasi yang terbatas yang diberikan kepada konsumen.”2)
Dengan
disahkan dan diundangkannya Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999, dan bersamaan dengan
undang-undang ini juga telah lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diharapkan dapat
menciptakan perdagangan yang adil tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha,
melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen, baik selaku pengguna
maupun pemakai barang atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha.
Kegiatan
pengawasan merupakan salah satu faktor yang penting dalam memberikan
perlindungan kepada konsumen, yang mana dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1),
(2), (3), (4), (5), dan (6) UUPK, yang bunyinya sebagai berikut
1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis
terkait
3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan atau
jasa yang beredar di pasar
4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan
masyarakat dan lembaga perlindungan
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada menteri dan menteri teknis
6)
Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Berpedoman pada penjelasan diatas, perlu adanya
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, serta lembaga
perlindungan swadaya masyarakat dalam
mengawasi barang atau jasa yang ditawarkan, yang mana harus memenuhi kelayakan
produksi yang berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang atau
jasa sebelum diperdagangkan dan dikonsumsi oleh
konsumen.
Selain pengawasan, ”faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah kesadaran konsumen akan hak-haknya yang diakibatkan
oleh rendahnya pendidikan konsumen”3). Oleh karena itu, UUPK dibentuk dan
dijadikan landasan dalam melindungi para konsumen. Peran pemerintah,
masyarakat, serta lembaga perlindungan swadaya masyarakat sangatlah dibutuhkan
dalam memberikan perlindungan bagi para konsumen. Sebagaimana hak konsumen
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan berdasarkan pasal 4 huruf (f) UUPK.
Upaya
pemberdayaan konsumen sangat penting dan tidaklah mudah mengharapkan kesadaran
dari pelaku usaha, mengingat pelaku usaha menerapkan prinsip ekonomi dengan
modal yang seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan secara intensif akan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen dalam
melindungi dirinya sendiri, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab, berdasarkan Pasal 3 huruf
(a) mengenai tujuan perlindungan konsumen.
Pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan akan membawa dampak positif bagi para
konsumen, ketika mereka sebagai konsumen merasa telah dirugikan atas barang
atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha, sebagai konsumen yang
dirugikan mereka akan mendapatkan perlindungan hukum serta dapat mengajukan
gugatan, tuntutan, dan mendapatkan ganti rugi (jika memang terbukti bersalah)
berdasarkan UUPK.
Dari uraian
tersebut, secara singkat penulis akan menitikberatkan pada persoalan yang
berkaitan dengan penulisan ini, yakni dengan terbuka lebarnya arus transaksi
barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri maupun diproduksi luar negeri,
haruslah ada pengawasan yang dilakukan pemerintah. Dan jika terbukti para
pelaku usaha melakukan kelalaian ataupun kesengajaan dalam menawarkan barang
dan jasa yang mengakibatkan konsumen telah dirugikan, diharapkan adanya upaya
hukum dalam menyelesaikan sengketa konsumen berdasarkan Undang-undang nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dari uraian tersebut diatas, penulis mengemukakan permasalah yang akan
penulis ajukan dalam penelitian yang berjudul :
”SISTEM PENGAWASAN BPOM DALAM
MENGAWASI MAKANAN YANG BEREDAR DAN UPAYA
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI BPSK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.”
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat dirumuskan dua masalah yang menjadi objek
kajian dan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu :
- Bagaimanakah sistem pengawasan BPOM
dalam mengawasi makanan yang beredar?
- Bagaimanakah upaya penyelesaian
sengketa melalui BPSK menurut Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen?
C. Ruang Lingkup
Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh mengenai penelitian ini dan juga untuk menghindari agar pembahasan
permasalahannya tidak menyimpang dari masalah pokok, maka diberikan batasan
dengan menunjuk ruang lingkup yang berkaitan dengan judul, maka penulis
mengkhususkan pada ruang lingkup mengenai makanan yang beredar diwilayah kota
Palembang.
Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk mencari kejelasan guna melengkapi
pengetahuan teoritis yang penulis miliki, sehingga penulis dapat mengembangkan
ilmu yang penulis miliki khususnya dibidang perlindungan konsumen ataupun sebagai
kontribusi pengetahuan bagi yang
berkepentingan.
Hasil
penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui BPOM dalam mangawasi makanan yang beredar dan meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam upaya penyelesaian sengketa melalui BPSK jika
konsumen dirugikan.
D. Metodologi
Selaras dengan ruang lingkup
penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis yang
bersifat penjelajahan. Penelitian hukum yang akan dilaksanakan ini tergolong
penelitian hukum normatif-empiris (applied
law research), yaitu pemberlakuan pada peristiwa hukum yang terjadi dalam
masyarakat (in concreto), dilukiskan
secara skematis.
Untuk memperoleh data dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.
Sumber dan Jenis Data
Jenis data
dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :
1. Data primer.
Bahan penelitian yang berupa
data primer diperoleh secara langsung melalui
:
a. Observasi di Lokasi Penelitian.
Penelitian dilakukan pada
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Palembang dan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Palembang
b. Wawancara dengan Nara Sumber (Responden)
secara langsung, yaitu kepada :
1. Ketua Badan Pengawasan Obat dan Makanan Palembang
2. Ketua
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Palembang
2. Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.
Sumber bahan hukum primer yaitu :
Undang-undang nomor 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen.yang di sahkan dan di Undangkan tanggal 20
April 1999, LNRI No. 42 Tahun 1999. beserta peraturan pelaksanaannya.
Sumber bahan hukum sekunder adalah :
a. Buku-buku litelatur ilmu hukum yang
relevan dengan penelitian.
b. Jurnal hukum, laporan hukum
c. Media cetak atau elektronik dan berupa
surat kabar harian.
Sumber bahan hukum tersier :
1. kamus hukum
2. ensiklopedia.
Sumber
bahan hukum tersier
merupakan bahan penunjang bagi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum. [1] Hasil analisis substansi
kajian tersebut kemudian didiskripsikan secara lengkap, rinci dan sistematis
dalam bentuk hasil penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsumen
A. 1. Pengertian Konsumen
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai
definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK).
”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”
Sebelum
muncul UUPK yang diberlakukan Pemerintah mulai 20 April 2000, hanya sedikit
pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di
Indonesia.
“Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan
MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang
sasaran bidang perdagangan. Dalam hal (GBHN, 1988, Bab IV, Ekonomi) “Kebijaksanaan
harga yang layak bagi petani produsen maupun konsumen”, atau (GBHN-1993, Bab
IV, F, butir 8) “Perdagangan dalam negeri dan distribusi diarahkan untuk
memperlancar arus barang dan jasa serta melindungi kepentingan produsen dan
konsumen”.4)
Diantara
ketentuan normatif diatas, terdapat Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
“Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain.”
Istilah
lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”. Istilah “pembeli” dapat
dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
A.
2.Pengertian Konsumen Dalam Peraturan
Perundang-undangan Negara Lain
Perundang-undangan Australia, “Konsumen adalah
setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa tertentu dengan harga maksimum
A.$. 15.000,- atau kalau harganya melebihi jumlah itu, barang atau jasa
tersebut umumnya adalah digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah
tangga” (“normally used for personal, family, or household purposes”).5)
Perundang-undangan Belanda, yang tersusun dalam
BW-Belanda baru (NBW) tentang perjanjian pembelian konsumen. Konsumen dalam
suatu pembelian.“Konsumen adalah pembeli orang alami yang tidak (bertindak)
dalam rangka pelaksanaan profesi atau usaha.”6)
Undang-undang India, “Konsumen adalah setiap
pembeli barang atau jasa yang disepakati, termasuk harga dan syarat-syarat
pembayarannya, atau setiap pengguna selain pembeli itu, dan tidak untuk dijual
kembali atau lain-lain keperluan komersial.”7)
Dari tinjauan pada tiga
perundang-undangan negara-negara lain, dapat dilihat beberapa hal tentang
pengertian konsumen sebagai berikut :
1. a. Konsumen
dapat terdiri dari mereka yang menggunakan barang atau jasa untuk tujuan
membuat barang atau jasa lain, atau diperdagangkan kembali (untuk tujuan
komersial)
b. Mereka ini disebut sebagai konsumen-antara.
c. Melihat pada sifat penggunaan barang atau
jasa tersebut, konsumen-antara ini sesungguhnya tidak lain dari pengusaha, baik
pengusaha perorangan maupun pengusaha berbentuk badan hukum atau tidak, baik
pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahan milik Negara), dan dapat
antara lain terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang
digunakan oleh konsumen akhir (produsen) atau penyedia, atau penjual produk
akhir (supplier, distributor, atau pedagang)
2. a. Konsumen
dapat pula terdiri dari mereka yang menggunakan produk akhir untuk tujuan
memenuhi kebutuhan hidup mereka, keluarganya dan atau rumah tangga (sebagai
konsumen akhir dan untuk tujuan non-komersial).
b. Mereka
disebut sebagai konsumen akhir
c. Mereka pada pokoknya adalah orang alami
(naturlijke person) dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan
dan atau tujuan komersial lainnya.8)
A. 3.Hak Dan
Kewajiban Konsumen
Pada bab
terdahulu penulis menggungkapkan, akibat dari beraneka ragam barang atau jasa
yang ditawarkan oleh pelaku usaha, baik dari produksi dalam negeri ataupun
produksi dari luar negeri, mengakibatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha
tidak seimbang, yang dikarenakan pelaku usaha menjadikan konsumen sebagai objek
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui promosi, cara penjualan,
serta penetapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Dengan pertimbangan
tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
konsumen berdasarkan pasal 4 dan pasal 5 UUPK.
Hak-hak konsumen
a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen.
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara banar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen menurut
Presiden Amerika J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang
terdiri atas.
a.
Hak memperoleh keamanan
(the right to safety)
b.
Hak memilih (the right to choose)
c.
Hak mendapat informasi (the right to be informed)
d.
Hak untuk didengar (the right to be hear)9)
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing
pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumers Union-IOCU) ditambahkan empat hak
dasar konsumen lainnya, yaitu:
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
b.
Hak untuk memperoleh ganti rugi.
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang
bersih dan sehat.10)
Disamping itu, Masyarakat
Ekonomi Eropa (Europese Economischa Gemeenschap atau EEG) menyepakati lima hak
dasar konsumen sebagai berikut :
a.
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.
b.
Hak perlindungan kepentingan ekonomi.
c.
Hak mendapat ganti rugi.
d.
Hak atas penerangan.
e.
Hak untuk didengar.11)
Kewajiban-kewajiban
konsumen
a.
Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Adanya
kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan
merupakan hal penting. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku
usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun
konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan
pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung
jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan
kewajiban tersebut. Seperti dalam halnya penggunaan obat-obatan yang
berdasarkan etiket yang tertera dalam suatu produk.
Menyangkut
kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang
dan atau jasa. Bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen pada
saat melakukan transaksi pada produsen.
Kewajiban
konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati dengan pelaku
usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.
Kewajiban
konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut. Sebelum
diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus
seperti dalam perkara perdata, sementara dalam perkara pidana tersangka atau
terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan atau kejaksaan
Adanya
kewajiban seperti diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah
untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban yang dilakukan konsumen tidaklah
cukup jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha
berdasarkan pasal 7 UUPK.
B. Pelaku Usaha
B. 1. Pengertian Pelaku Usaha
Pasal 1 angka (3) UUPK, yaitu
:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukkan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
B. 2.Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak-hak
pelaku usaha berdasarkan pasal 6 UUPK :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak pelaku
usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan atau
jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut
lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang diberikannya kepada
konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas
barang dan atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi suatu barang
dan atau jasa yang berkualitasnya lebih rendah daripada barang dan atau jasa
yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan
demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.
Menyangkut
hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf (b), (c), dan (d) sesungguhnya
merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan aparat pemerintah dan
atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan dalam tugasnya
melakukan penyelesaian sengketa. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban
konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf (b), (c), dan (d)
adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut
berdasarkan Pasal 5 huruf (d)
Tentang
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya,
seperti hak-hak yang diatur dalam Undang-undang Perbankan, Undang-undang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang
Pangan, dan undang-undang lainnya. Berkenaan dengan berbagai undang-undang
tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK adalah payung hukum bagi semua aturan
lainnya berkenaan dengan perlindungan konsumen.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha berdasarkan pasal 7 UUPK :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen
untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau
jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku
usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas
yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik diatur dalam
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH.Perdata), bahwa
“perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dalam UUPK pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi
konsumen diwajibkan beritikad baik melakukan transaksi pembelian barang dan
atau jasa. Dalam UUPK, beritikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,
karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, yang dimulai
dari tahap barang diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya beritikad
baik bagi konsumen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.
Kewajiban
pelaku usaha dalam memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan
hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai
dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi)
yang akan merugikan konsumen.
Berdasarkan
penjelasan UUPK, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam
memberikan pelayanan. Dan juga pelaku usaha dilarang dalam membeda-bedakan mutu
pelayanan konsumen.
Kewajiban
para pelaku usaha dalam menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan
atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa
yang berlaku, bahwa pelaku usaha mengupayakan agar barang dan atau jasa yang
beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul,
kualitas, label, etiket dan sebagainya.
Pelaku
usaha memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba
barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas
barang yang dibuat dan atau diperdagangkan. Berdasarkan penjelasan UUPK, yang
dimaksud dengan barang danatau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji
atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakkan atau kerugian.
Disamping
menjadi hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian. Hal ini juga merupakan kewajiban dari pelaku usaha dalam memberi
kompensasi, ganti rugi, dan atau jasa penggantian apabila barang dan atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian
C. Pengertian Pengawasan
Dalam
kehidupan sehari-hari baik di lingkungan masyarakat maupun dilingkungan tempat
bekerja, istilah pengawasan, sering kita dengar dan tidak terlalu sukar untuk
dimengerti. Akan tetapi, untuk memberikan suatu definisi atau batasan tentang
pengawasan, ternyata tidak begitu mudah. Demikian pula bagi para ahli manajemen
menganggap tidak begitu mudah untuk memberikan definisi tentang pengawasan. Hal
ini terbukti dari banyaknya buku tentang manajemen yang juga memuat uraian
tentang pengawasan, tanpa memberikan batasan mengenai pengawasan itu sendiri.
Di samping itu banyak pula para ahli manajemen yang telah mendefinisikan
tentang pengawasan. Dari definisi pengawasan yang diberikan bermacam-macam
rumusannya, walaupun pada prinsipnya definisi tersebut tidak banyak berbeda.
Istilah
pengawasan ditinjau dari segi tata bahasa, berasal dari kata “awas” yang
artinya melihat, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam
arti melihat dengan seksama.
Sedangkan
istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut “controlling” yang
diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah
“controlling” lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi di kalangan
para ahli dan para sarjana telah disamakan pengertian “controlling” dengan
pengawasan, jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal
dari kata “kendali” yang artinya mengarahkan, memperbaiki, kegiatan yang salah
arah dan meluruskan menuju ke arah yang benar. Akan tetapi, ada juga yang tidak
setuju akan disamakannya istilah “controlling” dengan pengawasan, karena
“controlling” pengertiannya lebih luas dari pada pengawasan dimana dikatakan
bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengawasi saja atau hanya melihat
sesuatu dengan seksama dan melaporkan saja hasil kegiatan dari mengawasi tadi,
sedangkan “controlling” adalah disamping melakukan pengawasan juga melakukan
kegiatan pengendalian, yakni, menggerakkan, memperbaiki, dan meluruskan menuju
arah yang benar.
Kenyataan
dalam praktek sehari-hari bahwa istilah “controlling” itu sama dengan istilah
pengawasan dan istilah pengawasan itupun telah mengandung pengertian yang luas,
yakni tidak hanya bersifat melihat dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan
mengawasi tadi tetapi juga mengandung arti pengendalian dalam arti
menggerakkan, memperbaiki, dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan sesuai
dengan apa yang direncanakan.
Sebagai
bahan perbandingan di bawah ini penulis menguraikan beberapa batasan pengertian
pengawasan :
“Pengawasan adalah penemuan dan penerapan cara dan
peralatan untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang
telah ditentukan”12)
Menurut T. Hani Handoko.
“Pengawasan adalah proses pengamatan daripada
pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua
pekerjaan yang dilakukan berjalan dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya"13) Menurut Soedjono
Dirdjosiswono.
D. Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK)
D. 1. Pengertian Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 1 angka (11) UUPK :
“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
adalah : badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen”
Berdasarkan
Bab XI dari Pasal 49 sampai dengan pasal 58 UUPK mengatur mengenai Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. yang selanjutnya akan disebut (BPSK).
D. 2.Pembentukan Dan Keanggotaan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 49
ayat (1) UUPK :
”Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan”
Berdasarkan
ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUPK, menetapkan pembentukan BPSK hanya pada Daerah
Tingkat II (kabupaten), memperlihatkan bahwa putusan BPSK sebagai badan
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding dan
kasasi. Berkenaan dengan pembentukan BPSK di Daerah Tingkat II sebagaimana
ditentukan dalam ayat (1), dan juga
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juli 2001,
pasal (1) ditentukan bahwa pembentukan BPSK dilakukan pada Pemerintahan Kota
Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung,
Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makasar.
Belum semuanya Daerah Tingkat II (kabupaten) di Indonesia dilakukan pembentukan
BPSK, terbatas pada 10 Kota di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Kepres
Nomor 90 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Keanggotaan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam pasal 49 ayat (2) :
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Warga Negara Republik Indonesia .
b.
Berbadan sehat.
c.
Berkelakuan baik.
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan.
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di
bidang perlindungan konsumen.
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun.
D. 3.Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Pasal 52 UUPK
:
a.
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi
b.
Memberikan konsultasi perlindungan konsumen
c.
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
d.
Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang
e.
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis,
dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
f.
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen
g.
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini
h.
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini
i.
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf (g) dan
huruf (h), yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
j.
Mendapatkan, meneliti, dan/atau meneliti surat , dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan, dan/atau pemeriksaan
k.
Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian
pihak konsumen
l.
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
m.
Menjatuhkan saksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang
BAB III
SISTEM PENGAWASAN BPOM DALAM MENGAWASI MAKANAN YANG BEREDAR DAN UPAYA
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI BPSK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sistem
Pengawasan BPOM Dalam Mengawasi Makanan Yang Beredar
Sebagaimana
telah penulis uraikan pada bab terdahulu mengenai pasal 30 ayat (1), (2), (3),
(4), (5), dan (6) UUPK tentang pengawasan, yang bunyinya sebagai berikut :
1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis
terkait
3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan atau jasa yang
beredar di pasar
4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan
masyarakat dan lembaga perlindungan
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada menteri dan menteri teknis
6)
Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Dalam ketentuan Pasal 30 UUPK tentang pengawasan,
cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur
yang ada yaitu masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan atau menteri terknis.
Apabila diperhatikan dalam substansi Pasal 30 UUPK,
juga tampak bahwa pengawasan lebih menitikberatkan pada peran masyarakat dan
LPKSM, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh
menteri dan atau menteri terknis seperti terlihat dalam Pasal 30 Ayat (1) UUPK,
pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM, selain
tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi
tugas pengawasan terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar. Dan juga
berdasarkan Pasal 30 Ayat (4) UUPK menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh
masyarakat dan LPKSM ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri
dan atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau
tidaknya suatu barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan
menanti laporan masyarakat dan atau LPKSM, untuk kemudian diambil tindakan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 30 Ayat (3), menentukan
bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei,
terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan
barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha,
menuntut upaya pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang
menjadi hak-haknya menjadi sangat penting. Upaya yang dimaksudkan, bukanlah
suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen)
pada umumnya sekarang ini, khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang
sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran akan pentingnya pengetahuan di bidang
hukum khususnya di bidang perlindungan konsumen.
Pengawasan yang diserahkan kepada masyarakat dan LPKSM
sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UUPK, bukanlah tugas yang mudah untuk
dilakukan. Suatu hal yang menggembirakan, telah lahirnya Peraturan Pemerintah
nomor 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, bahwa ketidakjelasan peran pemerintah yang seolah hanya
menyerahkan tugas pengawasan kepada masyarakat dan LPKSM, kini menjadi jelas.
Oleh karena itu, dalam Peraturan Pemerintah ini pemerintah ikut aktif dalam
melakukan pengawasan sebagaimana masyarakat dan LPKSM, walaupun dengan objek
pengawasan yang sedikit berbeda.
Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur
dalam pasal 8
Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, bahwa :
1)
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku
pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label, dan klausula baku ,
serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang
dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, misalnya
tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi.
2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan
barang dan/atau jasa.
3)
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat
4)
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat, dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, ditentukan
bahwa :
1)
Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
2) Pengawasan yang dilakukan dengan cara
penelitian, pengujian, dan atau survei
3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan
informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4) Hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan menteri teknis terkait
Ketentuan
tentang pengawasan yang diperankan oleh masyarakat tersebut sama dengan
ketentuan pengawasan yang diperankan oleh LPKSM, hanya saja pengawasan yang
dilakukan oleh LPKSM mensyaratkan bahwa penelitian, pengujian, dan atau survei
yang dilakukan oleh LPKSM harus didasarkan pada adanya dugaan bahwa produk yang
menjadi objek penelitian, pengujian dan atau survei tidak memenuhi unsur
keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Syarat ini, tidak
dikenal dalam penelitian, pengujian, dan atau survei yang dilakukan oleh
masyarakat. Secara konkrit pengawasan yang dilakukan pihak LPKSM ditentukan di
dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2001, bahwa :
1) Pengawasan LPKSM dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei. Disamping
dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat
perseorangan maupun kelompok.
3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan
informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4) Penelitian, pengujian dan/atau survei
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa
yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan
keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat dilakukan baik sebelum atau
sesudah terjadi hal-hal yang membahayakan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan
keselamatan konsumen
5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan menteri teknis.
Menyangkut
pengujian terhadap barang dan atau jasa yang beredar sebagaimana diatur dalam
pasal 10 tersebut, dilaksanakan melalui laboratorium pengujian yang telah
diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penunjukan pengujian hanya kepada laboratorium yang telah diakreditasi
tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil uji yang objektif dan transparan
serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dari uraian
di atas pasal 30 UUPK mengenai Pengawasan, yang mana dalam pengawasan tersebut
dilakukan oleh Pemerintah melalui menteri dan menteri teknis terkait,
masyarakat, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Berdasarkan permasalahan yang di hadapi penulis mengenai sistem pengawasan BPOM
dalam mengawasi makanan yang beredar maka dari substansi pasal 30 UUPK mengenai
pengawasan inilah sebagai perbandingan dalam pengawasan yang dilakukan oleh
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
BPOM adalah
singkatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Yang dimana BPOM ini dibentuk
oleh pemerintah untuk turut berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen.
Sama halnya dengan lembaga
atau instansi lainnya BPOM ini memiliki tugas dan fungsi, sebagai berikut :
1.
Memberikan Pelayanan Informasi.
2.
Menerima Pengaduan.
3.
Mengolah dan meneruskan Informasi.
4. Memantau proses pemecahan masalah dan
menyampaikan hasilnya.14)
BPOM telah menyediakan ULPK,
yaitu Unit Layanan Pengaduan Konsumen. Yang mana tugasnya melayani pengaduan konsumen atau masyarakat
tentang obat, makanan dan minuman, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,
dan NAPZA, serta bahan-bahan yang berbahaya. ULPK ini dikoordinatori oleh
sekretaris utama BPOM.15)
BPOM ini
merupakan badan yang bersifat independent yang artinya tidak memihak kepada
pihak produsen sebagai pihak pemberi barang dan jasa, pihak pemerintah dan juga
pihak masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan barang dan jasa.
Tidak hanya
tugas dan fungsi saja yang dimiliki oleh BPOM akan tetapi BPOM ini memiliki
tujuan, tujuannya adalah tertampungnya pengaduan masyarakat yang berkaitan
dengan mutu dan keamanan serta permasalahan, aspek legalitas produk OMKABA (Obat,
Makanan, dan Zat Berbahaya) untuk dilakukan pemecahan masalah secara cepat dan
tepat melalui prosedur dan tatanan organisasi yang telah ada.16)
BPOM ini
juga turut mengawasi makanan yang beredar di masyarakat. Sistem pengawasan BPOM
dikembangkan dalam tiga
(3) lapisan pengawasan dengan Interaksi Net Working yang dinamis, yang mana
akan penulis uraikan sebagai berikut :
I. Sub
Sistem Pengawasan Produsen
Dalam sistem pengawasan
Produsen ini terbagi empat (4) yaitu :
I. 1. GMP
(Good Manufacturing Practices)
Pengertian Good Manufacturing Practices ialah Cara
produksi yang baik. Dimana cara produksi yang baik ini terdapat pedoman atau
kategori dalam memenuhi cara produksi yang baik, diantaranya sebagai berikut :
a. Lingkungan Produksi,
harus bebas pencemaran, semak belukar, dan genangan air. Bebas dari sarang
hama, khususnya serangga dan binatang pengerat. Tidak berada di daerah sekitar
tempat pembuangan sampah baik sampah padat ataupun sampah cair. Tidak
berada di daerah pemukiman penduduk.
b. Bangunan dan Fasilitas, mencakup desain
dan tata letak, lantai, dinding, langit-langit, pintu, jendela, lubang angin,
kelengkapan ruang produksi, serta tempat penyimpanan. Yang dimana ruang
produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan
c. Peralatan Produksi, terbuat dari bahan
yang kuat, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang sehingga mudah dibersihkan.
Peralatan produksi harus diletakkan sesuai dengan urutan prosesnya sehingga
memudahkan karyawan yang bekerja.
d. Suplai Air, air yang digunakan harus
air bersih dalam jumlah yang cukup memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi.
Sumber dan pipa air untuk keperluan selain pengolahan pangan seharusnya
terpisah.
e. Fasilitas
dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi, fasilitas disini dapat berupa tempat
cuci tangan dan toilet harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan selalu dalam
keadaan bersih. Tersedianya alat cuci atau pembersih seperi sikat, pel,
deterjen. Kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan perelatan harus
dilakukan secara rutin.
f.
Pengendalian Hama, menjaga agar lubang-lubang dan selokan
agar dalam keadaan tertutup. Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat
mengundang masuknya hama.
g.
Kesehatan dan Higiene Karyawan, menyangkut masalah kesehatan dan
kebersihan karyawan. Bagi karyawan yang menunjukkan gejala atau sakit misalnya
sakit kuning, diare, muntah, demam, dan sebagainya tidak diperkenankan untuk
mengolah pangan. Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya, mengenakan
pakaian kerja lengkap.
h.
Pengendalaian Proses, untuk menghasilkan produk yang bermutu dan
aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses
produksi pangan dapat dilakuakan dengan cara sebagai berikut :
·
Penetapan spesifikasi bahan baku
·
Penetapan komposisi dan formulasi bahan
·
Penetapan cara produksi yang baku
· Penetepan jenis, ukuran, dan spesifikasi
kemasan
· Penetapan keterangan lengkap tentang
produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal
kadaluarsa.
i.
Label Pangan, label pangan harus jelas dan informatif untuk
memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode
produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk jika diperlukan. Keterangan
pada label sekurang-kurangnya memuat : nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih, tanggal, bulan, tahun kadaluarsa, nomor sertifikasi
produksi.
j.
Penyimpanan, penyimpanan yang baik dapat menjamin mutu dan
keamanan bahan dan produk yang diolah. Penyimpanan dilakukan di tempat yang
bersih, harus sesuai dengan suhu penyimpanan, bahan yang dahulu masuk harus
digunakan terlebih dahulu.
k.
Penanggung Jawab, seorang penanggung jawab diperlukan untuk
mengawasi seluruh tahap proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin
dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman.
l.
Penarikan Produk, adalah tindakan menghentikan peredaran
pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan.
Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena
mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.
m.
Pencatatan dan Dokumentasi, pencatatan dan dokumentasi yang baik
diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses
produksi.
n.
Pelatihan Karyawan, pemilik atau penaggung jawab harus sudah
pernah mengikuti penyuluhan tentang Cara Produksi Pangan yang Baik, serta harus
menerapkan, dan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan pada karyawan yang
lain.
I. 2. PRE
Marketing Vigilance
PRE
Marketing Vigilance ialah Pengawasan sebelum mendapat izin edar dan setelah
produksi. Yang dimana pengawasan tersebut dimulai pada saat pengolahan bahan
mentah sampai menjadi bahan pangan yang siap untuk diedarkan.
I. 3.
Post Marketing Vigilance
Post
Marketing Vigilance ialah Pengawasan setelah makanan atau pangan beredar
dipasaran. Pengawasan ini dilakukan ketika pada tahap Inspeksi ke lapangan atau
pasar yang selanjutnya akan diteliti.
I. 4. HACCP
(Hazard Analysis And Critical Control Point)
Hazard Analysis and Critical Control Point ialah
Pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan POM, yang mana pada awal pengawasannya
dimulai dari proses produksi, tahap pengolahan bahan mentah, pendistribusian
sebelum makanan atau pangan tersebut beredar, serta pengawasan dipasaran yang mana pangan atau makanan tersebut telah
beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Dari tahapan-tahapan kegiatan
pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan POM tersebut diberikan laporan yang
telah dianalisa mengenai bahaya dan resiko serta nilai pengawasan yang dikupas
secara kritis.
II. Sub Sistem Pengawasan Pemerintah
Dalam sub sistem pengawasan Pemerintah, BPOM juga
membagi kegiatan pengawasan tersebut dalam tujuh (7) kategori, yang diantaranya
sebagai berikut :
1. Regulasi, pengawasan yang dilaksanakan
oleh BPOM atas peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berkenaan
dengan kegiatan pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam ruang
lingkup pengawasan makanan yang beredar di masyarakat. Seperti halnya terdapat
didalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
2. Standarisasi, mengenai ukuran-ukuran
spesifik tertentu seperti halnya bentuk, ukuran, dan juga kadar zat-zat yang
dipergunakan dalam pemakaian atau pembuatan makanan.
3. Registrasi, setelah dari proses standarisasi yang
telah ditentukan mengenai ukuran, bentuk serta karakteristik-karakteristik
lainnya. Maka di tahap registrasi ini hasil dari produk-produk makanan yang
telah dibuat akan diberikan nomor dan dinyatakan bahwa produk-produk tersebut
telah memenuhi standar dalam pembuatannya
4. Inspeksi,
penyidikan yang dilakukan
oleh BPOM mengenai pangan atau makanan yang telah beredar di masyarakat.
Inspeksi ini dilakukan secara berkala setiap bulan sekali.
5. Sampling, kegiatan yang dilakukan oleh BPOM
mengenai inspeksi atau pemeriksaan tersebut ditemukan pangan atau makanan dan
dianggap berbahaya, dibeli dan digunakan sebagai contoh atau sampling yang akan
diujikan dalam laboratorium.
6. Public
Warning, jika dapat
pengujian labotarium yang dilakukan oleh BPOM, terhadap makanan dan ditemukan
hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan, kemanan dan keselamatan pada
konsumen. Maka BPOM mengeluarkan dan menyebarkan serta menyampaikan informasi
tersebut kepada masyarakat dan menteri.
7. Layanan
Aduan Konsumen, layanan
aduan konsumen ini dibuat untuk memberikan pelayanan kepada konsumen
berupa informasi, menerima pengaduan dan
sebagainya agar konsumen merasa aman, nyaman dan selamat dalam mengkonsumsi produk-produk makanan.
III. Sub Sistem Pengawasan Konsumen
Adapun
kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM dalam mengawasi sub sistem pengawasan
konsumen terbagi menjadi dua (2) antara lain :
1. Pemberdayaan Konsumen
Dalam pemberdayaan konsumen ini merupakan hal atau
kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh BPOM, karena dalam mewujudkan
perlindungan hukum khususnya dalam perlindungan konsumen, masyarakat atau
pengguna barang dan jasalah yang menjadi subjek hukumnya. Dengan dilakukannya
pengawasan oleh BPOM dalam pemberdayaan konsumen, akan menjadikan masyarakat
atau konsumen tersebut menyadari apa yang telah menjadi haknya dan apa yang
menjadi kewajibannya dalam menggunakan barang atau jasa khususnya dalam
mewujudkan perlindungan konsumen.
2. Edukasi Konsumen
Dalam menindak lanjuti kegiatan pengawasan yang
dilakukan BPOM dalam melakukan pemberdayaan konsumen, Edukasi merupakan
kegiatan yang penting untuk dilakukan. Edukasi atau pendidikan merupakan hal
yang sudah seharusnya dilakukan, dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat Indonesia ,
yang akan berlanjut ke tingkat kesadaran masyarakat atau konsumen untuk
memahami hak dan kewajiban mereka. Pemberian edukasi atau pendidikan yang
dilakukan oleh BPOM dapat berupa pemberian informasi yang jelas bagi konsumen.
Bukanlah tugas dari pelaku usaha, BPOM, atau pemerintah semata-mata, melainkan
juga tugas dari konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang
dianggap relevan yang dapat dipergunakannya untuk membuat suatu keputusan
tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian barang atau jasa tertentu.
Untuk itu, pendidikan tentang perlindungan konsumen menjadi suatu hal yang
harus dilakukan, tidak hanya untuk memberikan posisi yang lebih kuat pada
konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan
main lebih adil bagi semua pihak.
B.
Upaya Dan Proses Penyelesaian Sengketa
Melalui BPSK Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
B.1. Upaya Penyelesaian
Sengketa Konsumen Melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Tiga (3) macam bentuk upaya penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh BPSK :
a.
Konsiliasi, yaitu merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa yang juga bisa ditempuh di luar pengadilan. Konsiliasi
ini juga dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen
berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui
BPSK ini mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan proses penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sedangkan Majelis BPSK bersifat
pasif (hanya konsiliator atau pengarah).
b.
Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, namun
Majelis BPSK bertindak sebagai mediator atau penasehat agar proses persidangan
berjalan sesuai ketentuan.
c.
Arbitrase,
yaitu proses penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan
para pihak bersengketa, namun proses penyelesaiannya secara penuh diserahkan
kepada Majelis BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing. (Konsumen memilih
arbiter dari unsur Konsumen, Pelaku Usaha memilih arbiter dari unsur Pelaku
Usaha dan Ketua Majelis dari unsur Pemerintah)17)
B.2. Proses Penyelesaian
Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
a. Tahapan Permohonan, Setiap konsumen
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen
kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan oleh ahli waris
atau kuasanya. Permohonan yang dilakukan oleh ahli waris atau kuasanya dapat
dilakukan apabila konsumen :
1.
Meninggal dunia
2.
Sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat
mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana
dibuktikan dengan surat
keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP)
3. Belum dewasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Orang Asing
(Warga Negara Asing)18)
secara tertulis yang diterima oleh Sekretariat BPSK diberikan bukti tanda
terima kepada pemohon. Sedangkan permohonan penyelesaian sengketa
konsumen diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat BPSK
dalam suatu format yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol
oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan
bukti tanda terima. Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik
tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh Sekretariat BPSK dan dibubuhi
tanggal dan nomor registrasi.
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara
tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :
1.
Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris, atau
kuasanya disertai bukti diri
2. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha
3.
Barang atau jasa yang diadukan
4. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi,
dan dokumen bukti lain)
5. Keterangan tempat, waktu, dan tanggal
diperoleh barang atau jasa tersebut
6. Saksi yang mengetahui barang atau jasa
tersebut diperoleh
7.
Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila
ada19)
b. Tahapan Persidangan, Ketua BPSK
memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan
penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari
kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap.
Dalam surat
penggilan dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam, dan tempat
persidangan serta kewajiban para pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa
konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama. Persidangan pertama
dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak
diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Majelis
bersidang pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditetapkan sebagaimana yang
tertera dalam surat
penggilan tersebut.
c. Tahapan Putusan, hasil penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dan mediasi dibuat dalam perjanjian
tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis
tersebut diperkuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua
dan Anggota Majelis. Keputusan Majelis tidak memuat sanksi administratif dalam
penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi dan Mediasi.. Hasil penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis
yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis.Keputusan Majelis dapat
memuat sanksi administratif dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
Arbitrase.20)
Majelis wajib menyelesaiakan sengketa konsumen
selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan
diterima oleh BPSK.
Putusan Majelis didasarkan atas musyawarah untuk
mencapai mufakat, namun jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak
dapat mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Putusan
Majelis adalah sebagai mana putusan BPSK dapat berupa :
a.
Perdamaian,
b.
Gugatan ditolak, atau
c.
Gugatan dikabulkan,
Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara
tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa,
selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam
waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan,
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau
menolak putusan BPSK. Konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Pelaku
usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan keputusan
tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
menyatakan menerima keputusan BPSK. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK,
tetapi tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setelah batas waktu
7 (tujuh) hari, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan
tersebut selambat-lambatnya 5 (lima )
hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku
usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka BPSK
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.21)
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap putusan BPSK, dimintakan
penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Niaga di tempat konsumen
dirugikan.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Sistem pengawasan BPOM dikembangkan dalam
tiga (3) lapisan pengawasan
A.
Sub Sistem Pengawasan Produsen
B.
Sub Sistem Pengawasan Pemerintah
C.
Sub Sistem Pengawasan Konsumen
2. Upaya Penyelesaian Sengketa
Melalui BPSK Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Tiga (3) macam bentuk
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BPSK :
a.
Konsiliasi, yaitu
penyelesaian sengketa konsumen dengan mempertemukan para pihak yang
bersengketa, dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang
bersengketa, sedangkan Majelis BPSK bersifat pasif (hanya konsiliator atau pengarah).
|
b. Mediasi, yaitu proses penyelesaian
sengketa konsumen dengan mempertemukan
para pihak yang bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak, namun Majelis BPSK bertindak sebagai Mediator atau penasehat agar proses
persidangan berjalan sesuai ketentuan.
c. Arbitrase, yaitu proses penyelesaian
sengketa konsumen dengan mempertemukan para pihak, proses penyelesaiannya
diserahkan kepada Majelis BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing.
B. Saran-saran
1.
Agar diadakan pengawasan oleh BPOM secara
berkelanjutan, tidak hanya bagi pelaku usaha pabrikan tetapi juga bagi pelaku
usaha industri rumah tangga (industri kecil). Dan meningkatkan kinerja di bidang Unit Layanan
Pengaduan Konsumen.
2.
Mengingat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
adalah Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Berkenaan dengan itu, diharapkan Pemerintah Kota Palembang
menyediakan Kantor atau Sekretariat tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ,
2003.
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
Daya Widya, Jakarta, 1999.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 2004.
T. Hani Handoko, Manajemen edisi II, BPFE Yogyakarta,
Yogyakarta, 1999.
Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahan Mengenai Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung,
Sentosa Sembiring, Himpunan
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Dan Perundang-undangan YangTterkait,
Nuansa Aulia, Bandung, 2006.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Simposium Aspek-Aspek Hukum
Masalah Perlindungan Konsumen, Binacipta, Jakarta, 1980.
1)
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Simposium
Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Binacipta, Jakarta , 1980, hal 9
2)
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ,
2003, hal 40
3) Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal 149
[1] Ibid, hlm. 82, 151
4) Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta,
1999, hal 2
5) Az. Nasution, Hukum
Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hal 11
6)
Ibid, hal 12
7)
Ibid, hal 12
8)
Ibid, hal 12
9) Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, OP.Cit, hal 61
10) Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal 39
12) T.
Hani Handoko, Manajemen edisi II,
BPFE Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hal 25
13) Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahan Mengenai Hukum Perbankan,
Mandar Maju, Bandung, hal 29
14) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin
Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM
di Palembang, tgl 19 April 2007
15) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin
Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM
di Palembang, tgl 19 April 2007
16) Hasil wawancara dengan Bpk. Burhanuddin
Gumay, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Balai Besar POM
di Palembang, tgl 19 April 2007
17) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno,
Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
18) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno,
Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
19) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno,
Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
20) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno,
Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
21) Hasil wawancara dengan Bpk. Sutikno,
Kepala Sekretariat BPSK Pemerintah Kota Palembang, Tgl 19 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar